Jumat, 28 Desember 2012

Terlalu Fiksi


Malam ini sunyi memeluk hati jiwa-jiwa yang sedang cemas dan gelisah. Di sebuah beranda rumah, duduk sepasang anak Tuhan yang saling diam dalam keterasingan.

Secangkir kopi dan segelas teh yang sudah mendingin menjadi sepasang hiasan di atas meja bundar, yang membatasi jarak di antara dua insan tersebut. Dalam diam, sepasang kekasih itu diam-diam meriuhkan kecemasan yang ingin segera dicurahkan.

"Ketika kita memutuskan untuk memulai, bukankah kita sudah siap dengan keadaan yang seperti ini?" ucap kekasih perempuan kepada kekasih lelakinya. "Tama, aku yakin kita bisa."

Tama masih larut dalam keheningan. Lelaki itu tetal diam, sementara dalam benaknya sebuah debat sedang terjadi; antara dirinya dengan bagian dirinya yang lain.

"Bukankah kita saling mencintai?" tanya kekasih perempuan itu kepada Tama.

Tama membuka kelopak matanya, dia menghembuskan nafas sebelum mulai berkata. "Ya, benar. Aku dan kamu saling mencintai. Aku tidak pernah memungkiri hal itu. Bahkan hingga malam ini, rasa cinta kepadamu tak berubah. Masih sama seperti hari sebelumnya."

"Lalu kenapa?"

"Kirana, terkadang ada hal-hal yang tidak akan mampu kita sebrangi hanya dengan sebuah keyakinan saja," ucap Tama kepada kekasihnya. Dia mengamit jemari kekasihnya itu. "Aku sudah meyakini hatiku berkali-kali, berharap, sebuah perpisahan bukanlah jawaban dari permasalahan yang kita hadapi."

"Lalu kenapa?" tanya Kirana kembali. Suara terdengar lirih dan bergetar. Terlihat perempuan itu menggigit bibir bawahnya. Mencoba menahan getir di hatinya agar tak pecah menjadi air mata.

Malam semakin terasa sunyi. Padahal jarum jam masih menunjukkan pukul 8 malam. Waktu seolah melambatkan lajunya untuk memberi waktu yang lebih lama pada keheningan dalam pembicaraan Tama dan Kirana.

"Karena terkadang, kenyataan menjadi tembok tinggi yang tak akan pernah mampu kita panjat. Atau menjadi jurang pemisah yang tak akan bisa kita sebrangi. Terlalu sulit."

"Aku selalu percaya, selama kita yakin dan percaya, kita dapat melakukan hal apa saja, yang sulit sekalipun."

"Kirana, sadarkah kamu, kalau kisah kita terlalu dipaksakan. Dan sayangnya, kita hidup dalam kenyataan, yang tidak semua hal yang kita inginkan akan kita dapatkan," ucap Tama kepada Kirana yang mulai meneteskan airmata.

Kenyataan adalah musuh terberat dari semua impian, harapan dan keinginan. Kenyataan pun adalah pembunuh terhebat dari setiap cita-cita yang akhirnya mati dan tak terwujudkan, menjadi makam dari seluruh hal yang sering diidam-idamkan.

Dalam diam, benak Tama mengulang-ulang kejadian beberapa hari terakhir yang dialaminya. Penolakan-penolakan terus terjadi dan tak sanggup dia redakan. Di ujung perdebatan yang terjadi dalam beberapa hari itu, sebuah pilihan harus dia lakukan. Dan memilih tak selamanya mudah.

"Ayah nggak setuju. Kalau kamu tetap dengan keinginanmu. Pergilah, dan jangan ingat ini adalah rumahmu."

Masih terngiang jelas dalam kepala Tama, suara nyaring ayahnya yang membentak dirinya tersebut dua hari yang lalu. Perdebatan sengit dengan semua argumen yang dibawa oleh Tama tak berhasil, dan tak menjadi apa-apa.

"Tapi, aku cinta dengan Kirana."

"Tak ada cinta dalam hal seperti ini. Kalian berbeda. Tak sama. Ada batas-batas yang tak akan pernah bisa dilanggar, yaitu agama."

Tama memejamkan matanya. Ingatan-ingatan itu selaksa pisau yang mengiris jiwanya secara perlahan. Melumat keyakinan hubungannya dengan Kirana dengan pasti.

"Tama," ucap Kirana sesunggukkan. "Aku cinta sama kamu. Kamu tahu hal itu lebih baik dari siapa pun." Kirana mengusap airmata yang mengalir dari kedua bola matanya. Pipinya sudah dibanjiri oleh airmatanya sendiri. Airmata yang menandakan kesedihan dan ketidakberdayaan. Airmata yang menjadi penanda matinya sebuah harapan.

Tama memijat keningnya, kemudian ditangkupkan wajahnya dalam telapak tanagannya. Dia diam membisu. Sementara Kirana masih menangis dalam diam. Tangisan yang sungguh memilukan, tanpa suara tapi menciptakan kepiluan.

"Tam, bukannya lo udah sadar konsekuensinya?"

Teringat oleh Tama perkataan sahabatnya, Rudi. Tama teringat oleh celotehan-celotehan Rudi beberapa hari yang lalu saat dirinya menceritakan tentang masalah yang mendera hubungannya dengan Kirana.

Tama tertunduk saat malam itu, Rudi dengan gamblang menuturkan kata-kata yang membuatku tak berkutik. Saat itu Tama hanya dapat menelan liur yang mengering di tenggorokkanku. Sahabatnya itu memang selalu blak-blakkan dalam memberikan komentar.

"Lebih baik jujur walaupun pahit, daripada lo dapet komentar manis tapi menipu kenyataan."

Kata-kata itu selalu Rudi ucapkan kepada Tama setelah selesai menghujaninya dengan ucapan-ucapan pahit sepahit obat, tapi menyadarkan Tama pada kenyataan.

"Kirana," ucap Tama seraya memegang jemari kekasihnya itu. Sebelah tangannya yang lain mengusap pipi Kirana yang basah. Isaknya sudah mulai mereda, sepertinya Kirana sudah mulai dapat mengendalikan emosinya. "Inilah kenyataannya. Dan aku tidak dapat menolaknya. Semoga kita bahagia di masa depan kita masing-masing. Kamu akan selalu di hatiku."

Tama berdiri dari kursi, berjalan ke arah motor yang diparkir di halaman depan beranda. Tama melihat Kirana yang masih mengusap airmatanya agar tak mengalir lagi. Tama memantapkan langkahnya untuk segera pulang. Segera dihidupkan motor dan keluar dari rumah Kirana, agar kesedihannya tak semakin menjadi karena melihat Kirana yang seperti ini.

Hidup itu pilihan bukan? Tapi sayangnya tidak semua orang dapat memilih. Seperti Tama malam ini. Berpisah dengan Kirana bukanlah sebuah pilihan, tapi sesuatu yang harus terjadi. Jika ada pilihan lain, memutuskan hubungan dengan Kirana adalah pilihan terakhir yang akan dipilih Tama.

***

Tama duduk termenung di meja yang ada di dalam kamarnya. Kertas-kertas, buku dan pena berebut tempat menyesaki meja. Sebuah kertas penuh coretan aksara ada dalam genggamannya. Baru saja sebuah sajak dituliskannya, sajak yang akan digunakannya untuk acara pembacaan puisi yang diadakan seminggu lagi.

Tama membaca kembali coretan-coretan tangannya, menyalinnya kembali dengan tulisan yang lebih rapi di kertas yang lain. Lamat-lamat sesak mengisi rongga pernafasannya. Aksara yang dipilihnya hingga menjadi susunan kalimat dalam sajak ini begitu terasa ironi. Sajak yang ditulisnya seperti menceritakan kembali getir dan pedihnya sebuah cinta yang dipunyai oleh sepasang hati, tapi tak pernah dapat saling memiliki; seperti kisahnya dengan Kirana.

Malam terasa sunyi. Deru angin yang mengepakkan sayap dedaunan terasa nyaring di telinga Tama. Hening terasa mengental, Tama duduk di antara kertas, pena dan buku yang kini berserak di atas kasurnya. Dalam genggamannya terdapat sebuah buku puisi karya Agus Noor. Dilafalkannya pelan-pelan tiap baris kata dalam buku tersebut. Tama menyesapi tiap bulir kata yang Agus Noor tuliskan. Dada Tama bergemuruh setiap membaca isi buku yang seperti-dia-sekali, seolah Agus Noor menciptakan buku puisi tersebut untuknya; untuk merayakan kesedihannya.

Malam memberikan jeda pada lamunan panjang. Jiwa melolongkan kesedihan pada malam yang hening. Tama melewatkan malam dengan kenangan tentang Kirana yang tak pernah bosan dia kenang.

***

Kirana menjejerkan kertas-kertas yang sudah kumal di atas kasurnya. Di atas selimut tidurnya dia kumpulkan kembali semua kertas puisi yang sudah kumal karena sering dia baca.

Perlahan airmata menetes tanpa aba-aba. Kirana tak dapat membendung kesedihan yang ditanggungnya. Pertahanannya tak cukup kuat untuk menahan rasa kehilangan. Hatinya belum cukup belajar pada ketabahan. Hatinya belum dapat menerima sebuah perpisahan, yang sejak awal sudah dia ketahui.

Setabah apa pun hati, sebuah kehilangan tetaplah kehilangan, yang pasti meninggalkan celah pada sesuatu yang ditinggalkan. Kirana terisak saat menyadari dia tak sepenuhnya bisa merelakan Tama. Padahal sudah hampir seminggu waktu berjalan sejak malam itu. Malam yang tak pernah diinginkan oleh Tama dan Kirana, namun menjadi malam yang pasti akan datang; bahkan sejal mereka pertama kali memutuskan menjadi sepasang kekasih.

"Aku sayang kamu," ucap Tama kepada Kirana. Dia mengamit jemari perempuan dihadapannya dan mengusap lembut rambut-rambut kecil yang mencuat di samping telinga Kirana.

"Aku pun seperti itu. Tapi mungkinkah kita bisa bersama?" ujar Kirana ragu. "Ki-"

Ucapan Kirana terhenti saat sebuah telunjuk menempel di bibirnya. "Aku tahu, tapi hal itu tak menghentikan perasaanku padamu. Kita jalani saja, sampai dimana kita dapat menjalaninya." Tama tersenyum kepada Kirana. Kini wajah mereka saling berhadapan. Bola mata Kirana mencari lesungguhan di dalam bola mata lelaki yang menyatakan cintanya itu kepada dirinya.

"Sampai kapan?" tanya Kirana.

"Sampai tak ada restu yang kita dapat dari orang yang melahirkan kita," ucap Tama tegas.

Airmata semakin deras mengalir di pipi Kirana saat sekelebat ingatan saat mereka memutuskan untuk berpacaran hadir di benaknya. Kertas-kertas puisi buatan Tama kembali basah menampung airmata kesedihan Kirana.

***

"Buat ibu, nggak masalah kamu menikah dengan perempuan manapun, karena ibu percaya kamu dapat memilih perempuan yang baik untuk menjadi pasanganmu kelak. Ibu merestui," ucap Ibu kepada Tama. "Tapi, kalau perempuan itu tidak seagama dengan kamu, tidak ada restu untukmu," lanjutnya.

Tama diam terduduk di kursi. Dihadapannya ada ayah dan ibunya. Tama seperti seorang terdakwa yang dihujani fakta-fakta yang membuatnya terlihat salah; salah dalam memilih Kirana sebagai perempuan yang ingin dipinangnya.

"Kirana perempuan baik-baik dan aku mencintainya," ujar Tama kepada ayah dan ibunya.

"Jika dia tidak berbeda agama denganmu, restu dari ibu akan kamu dapatkan, 'Nak," ucap Ibu kepada Tama yang menutup wajahnya dengan telapak tangan. Kekecewan tergambar jelas di wajahnya. Tama sudah kalah. Tidak ada yang dapat dilakukannya untuk mempertahankan hubungannya dengan Kirana. Saat restu tak dapat dia dapatkan, saat itu akhir hubungannya dengan Kirana terputuskan.

Tama terbangun dari tidurnya. Bulir-bulit keringat sebesar biji jagung keluar dari pori-pori membasahi tubuhnya. Mimpi yang baru saja dialaminya sungguh menguras emosinya. Mimpi tentang kejadian beberapa minggu yang lalu itu membayangi Tama. Seolah tak lelah menghujamkan kesedihan pada dirinya.

Dilihatnya jam dinding baru menunjukkan pukul 2 pagi. Tama memutuskan untuk melanjutkan tidurnya. Sebab dia harus cukup istirahat agar penampilannya di acara bacaan puisi jam 3 sore nanti bisa maksimal. Seraya berdoa agar mimpi buruk itu tak berulang, Tama merebahkan kembali tubuhnya.

***

Kirana berjalan cepat menuju tempat acara pembacaan puisi. Diliriknya jam yang melingkari tangannya. Dia sudah telah hampit 30 menit. Semoga Tama belum tampil, batin Kirana.

Tempat berlangsungnya acara pembacaan puisi di sebuah cafe di salah satu mall terbesar di kota ini. Cafe yang letaknya ada di lantai teratas membuat Kirana melajukan langkahnya dengan cepat; berkompetisi dengan waktu.

Saat baru memasuki cafe, Kirana mencari posisi untuk melihat stage yang disiapkan untuk para pembaca puisi. Dan ketika Kirana sudah mendapatkan posisi yang nyaman, ternyata penampilan Tama baru saja akan dimulai. "Syukurlah," ucap Kirana seraya menuliskan makanan yang akan dipesannya di notes yang diberikan oleh pelayan cafe.

"Berikutnya adalah pembacaan puisi dari Pratama Putra Perdana," ucap pembawa acara mempersilahkan Tama maju ke depan stage.

Karena Kita Terlalu Fiksi

Aksara ini adalah rangkuman kisah kehidupan kita
Cerita tentang cinta, yang selalu kita jaga, agar tetap bernyawa

Kamu akan abadi bersama sajak ini
Tak mati, juga tak akan hilang dalam terbatasnya ingatan diri
Sebut saja kita sepasang tokoh cerita di dalam dunia fiksi
Dimana, tiap kisah akan berakhir bahagia adanya
Tanpa airmata, hanya tawa selaksa bahagia yang abadi dalam senyum kita

Aku abadikan memori kita dalam aksara-aksara yang bernyawa
Nyawa yang lebih kekal dari waktu, nyawa yang lebih panjang dari kematian

Aku mencintaimu. Ya, mencintaimu.
Sayangnya, hutang kita di kehidupan tak cukup lunas terbayarkan dengan rasa cinta kepadamu

Selaksa tembok karang tak sanggup tanganku daki
Serupa itu dalamnya palung kenyataan yang tak mampu kuselami

Kekasihku, ketika kamu mendengar puisi ini
Yakini satu hal dalam sanubari
Kisah ini hanyalah bagian dari fiksi yang kita.jalani
Secuil fantasi yang susah payah kita jalin rapi, dan mati oleh sebab tak dapat kita pungkiri

Kekasihku, matamu adalah taman terindah yang permah kupandangi
Disana kumanjakan diri dalam ketenangan dan keindahan yang hanya sanubari mengerti
Maka kekasihku, kenanglah kisah fiksi kita ini dalam diri
Dan bila kau rindui lagi, bacalah puisi ini
Karena kisah kita memang terlalu fiksi.

Saat Tama selesaikan membacakan pembacaan puisinya, suasana yang tadi hening mendadak jadi ramai dan riuh oleh tepuk tangan. Hampir seluruh pengunjunf cafe bertepuk tangan. Kirana pun ikut bertepuk tangan setelah pembacaan puisi selesai. Pembacaan puisi tadi menggetarkan tubuhnya. Entah sebab puisinya yang teramat indah, atau sebab dirinya menggigil karena kesedihan.

Kirana meninggalkan kursinya, berjalan ke arah Tama. Saat berhadapan dengan lelaki itu, Kirana menghunuskan pandangannya ke jantung mata Tama. Mereka berdua terdiam seraya saling bertatapan.

"Puisi yang bagus," ucap Kirana memutus keheningan.

Tam tersenyum seraya menyodorkan kertas puisi yang dibacakan tadi. "Simpanlah ini. Anggap saja puisi terakhir dariku untukmu."

"Apa yang selanjutnya kamu cari Tama?" tanya Kirana saat Tama mulai berjalan meninggalkan Kirana.

"Tidak tahu, mungkin aku akan belajar dari kesedihan, bagaimana cara jatuh cinta lagi." Tama tersenyum simpul ke arah Kirana. Meyembunyikan kesedihan yang teramat dalam ditanggungnya. Tama ingin, Kirana tak tahu seberapa tak berdayanya dia.

"Andai kita bisa mengulangnya lagi. Aku ingin hidup di dunia dimana tak ada perbedaan penafsiran agama. Sehingga tak ada pembedaan dan pelabelan agama tertentu."

Tama membalikkan badannya. "Ya, andai saja bisa seperti itu. Sayangnya itu tak pernah terjadi. Lebih baik nikmati saja jalan di depan yang penuh dengan luka itu. Semoga kita akan bahagia." Tama meninggalkan Kirana di dalam cafe. Lelaki itu pergi ke pojok ruangan dan berkumpul dengan teman-temannya yang lain.

Kirana terdiam menatap Tama. Digenggemnya erat kalung simbol kepercayaannya yang melingkar di lehernya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar