Kamis, 06 Desember 2012

Drama Tiga Babak: Babak Pertama

Rima duduk di beranda, teh yang diseduh Byan untuknya sudah mulai mendingin tanpa tersentuh. Sejak tadi, perempuan itu duduk, sibuk memandangi lagi yang kelabu, seperti warna di langit hatinya saat ini.

Byan pun sama, matanya tak melepaskan diri pada sosok Rima yang duduk tanpa bergerak sedikitpun. Sesekali Byan menghela nafas panjang dan mendesah keras, hal yang harus dilakukan agar sesak di dalam dadanya tak terlalu pekat. Tatapan matanya bias, antara iba, sedih dan kecewa.

Dalam sebuah hubungan, kesedihan akan selalu dirasakan oleh dua pihak yang sama-sama menjalaninya, hanya saja kadarnya tidak pernah sama. Seperti hal yang Byan dan Rima alami, kesedihan, tak pernah bernilai ganjil, sebab ada dua yang merasakannya. Hanya saja, rasa penyesalan seringkali membuat diri menyalahkan diri sendiri dan ingin menanggung segala kesedihan itu seorang diri.

"Rima," panggil Byan pelan kepada istrinya. Rima menolehkan kepalanya ke arah Byan. Seketika, sesak kembali dirasakan Byan. Dia mendapati tatapan asing dari kedua bola mata Rima. Hal yang selalu dirinya takutkan, saat Rima kehilangan pancaran mata yang selalu dikaguminya. Seolah, kesedihan sudah menelan habis semua binar yang selalu terpancar dari bola mata istrinya itu.

Rima diam saja. Dia kembali memandangi langit yang semakin menggelap, seolah siap memuntahkan isi perutnya ke bumi. Byan menelan ludah, ditelannya kembali semua kata-kata yang ingin dia ucapkan. Tatapan mata Rima yang kosong telah memberangus semua aksara yang akan dilontarkan bibirnya, ikut lenyap dalam kesedihan.

Suara guntur di langit mulai terdengar, menggaduhkan kolong langit. Dan, petir ikut muncul, menggelontorkan kilatnya yang menyilaukan. Keduanya seolah ingin ambil bagian dalam drama, seolah meramaikan suasana, mencairkan kesedihan yang terlanjur membekukan hubungan Rima dan Byan. Padahal, suara guntur dan kilat petir hanya menambah muram suasana, menjadi simfoni pemantik duka, pengekal kesedihan.

"Masuklah, sebentar lagi hujan akan turun dengan deras," ucap Byan kepada Rima. Dia berusaha membujuk istrinya itu untuk masuk ke dalam rumah, sebab perlahan, gerimis sudah mulai turun dengan intensitas yang semakin meningkat. "Kondisi tubuhmu masih sangat lemah. Masuklah, agar kondisimu tak semakin memburuk," bujuk Byan kembali.

Rima bangkit dari kursinya, melangkah masuk ke dalam ruangan, dalam diam, tanpa ada kata-kata, tanpa ada ekspresi; seperti mayat hidup. Lalu dia duduk di bagian paling dekat dengan jendela. Disibakkannya tirai penutup jendela, agar dia dapat melihat langit yang sudah gelap. Rintik-rintik hujan mengetuk jendela, seolah memanggil Rima agar ikut bermain bersama mereka.

"Kata orang, hujan adalah cara Tuhan menyampaikan kesedihan orang-orang yang menahan kesedihan mereka dalam diam." Rima tiba-tiba berbicara. Bukan kepada siapa-siapa, seperti sedang berbicara kepada dirinya sendiri.

Byan yang berdiri di belakang Rima tak berkata apapun. Dia hanya mendengarkan monolog yang dilakukan Rima. Seolah sudah memaklumi hal tersebut. Dia hanya memandangi Rima, dalam diamnya, Byan meng-iya-kan ucapan Rima. Mungkin Tuhan sedang menyampaikan kesedihanku.



*Ini salah satu scene dalam cerita Immortal Mother yang sedang ditulis*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar