Jumat, 13 Januari 2012

"Kamu manis, kataku"

Sendu terburai dari kolam hati. Titik-titik airmata sudah terkristalkan. Kualihkan pandanganku sesaat, kulihat semburat senyum mengembang dari kedua belah pipi gadis itu. Sebab dirimu, aku bahagia, gumamku dalam hati. Tak ada lagi kesedihan. Tak tersisa sejengkal tempat untuk penyesalan. Nikmati saja apa yang sudah kita punya, itulah yang selalu kau ucapkan padaku.

"Raka, tadi kamu mengucapkan sesuatu?" Rani berujar pelan.

Lamunanku terputus. Kutatap lekat kedua bola mata Rani. Bening matanya mampu bangkitkan diriku dari kegelapan. Cerianya mampu usir kelabu yang selama ini menglingkupi diriku. Dia... adalah cahaya yang menerangi sudut-sudut tergelap yang pernah kupelihara. aku hanya tersenyum. Tak ada sepatah kata yang mampu kuucapkan.

"Oh begitu, ya sudah. Aku pikir kau mengucapkan sesuatu barusan."

Kudekati Rani yang membelakangiku. Kurengkuh dirinya dari belakang. Kubalikkan kursi rodanya, lalu kuberlutut. Kugenggam lembut jemarinya lalu kukecup pelan. Hening. Aku diam, begitu pun dengan Rani. Sesaat kita nikmati angin yang bertiup mesra, gemerisik pepohonan sesekali mengusik suasana yang aku dan Rani nikmati dalam diam.

Rani tersenyum kecil, menjalankan kembali waktu yang sempat terhenti beberapa saat. Senyuman yang tulus, senyuman yang meluluhlantahkan hatiku yang dulu kaku.

"Senyumanmu adalah hal termanis yang pernah kurasakan," ucapku pelan hampir berbisik saat kupeluk bibirnya dengan bibirku. Sebuah kecupan kilat. Kulihat sebelah alis matanya naik. Pertanda penjelasan. "Tidak apa. Kamu manis, kataku barusan. Bagaimana pun kondisimu, kau tetap yang termanis yang pernah kumiliki" Kugenggam erat jemari Rani. Kulewati waktu sore ini bersama dirinya, sebelum proses kemoterapinya dilaksanakan nanti malam.

6 komentar: