Senin, 02 Januari 2012

Bayangan

Pandanganku semaput, kukerjapkan mataku yang masih berkunang-kunang. Sisa alkohol semalam masih menggelayuti kesadaranku. Kusibakkan selimut yang menutupi tubuhku yang nyaris tak berbusana, berjalan pelan menuju meja kecil yang ada di sudut ruangan dan meraih sebuah gelas berisi air yang tersedia disana.

“Kamu sudah bangun, Sayang?” ucapmu pelan saat aku duduk di pinggir ranjang. Perempuan itu menggelayutkan lengannya dipundakku dan menyenderkan dadanya ke punggungku. “Kamu hebat sekali, Sayang.” Suara lembut berbisik manja kau ucapkan dibelakang telingaku. “Bagaimana kalau kita lanjutkan lagi sebelum kita pergi?” Matamu mengerling nakal ke arahku, kau mainkan telunjukmu ke arahku dan memberi tanda kepadaku, untuk kembali memulai permainan yang panas semalam.

Aku hanya menghembus nafas pelan, seraya menengguk kembali air mineral hingga tandas. Kulirik dirimu tanpa gairah. Bukan karena dirimu yang tidak menarik, lelaki normal mana yang tidak bergairah saat melihatmu saat ini, dengan tinggi badan semampai dan tubuh ideal serta kulit berwarna kuning langsat yang menyelimuti tubuhmu. Memiliki wajah oriental dengan bibir merah merekah yang menghiasi, kamu bisa membuat setiap lelaki termasuk aku–seharusnya–berdecak nafsu saat melihatmu yang saat ini nyaris topless.

“Ada apa?” tanyamu kepadaku yang hanya bisa kujawab dengan gelengan lemah. Tiba-tiba dengan cepat kau mengangkat wajahku. “Bukankah semalam kau menikmatinya, Sayang? Lalu kenapa sekarang kau seolah tidak bergairah?”

Kupandangi matamu, kutemui sepasang bola mata yang dihiasi oleh bulu mata lentik. Bening matamu masih sama seperti dulu, bertahun yang lalu. Romansa masa lalu yang masih tertinggal dihatiku. Ya, aku menikmatinya dibawah pengaruh minuman, ucapku lirih di dalam hati. Kamu kecup dengan cepat bibirku, mencoba membangkitkan naluri kelaki-lakianku. Seketika itu juga aku berdiri, sedikit gontai, sepertinya aku terlalu mabuk semalam. Saat itu juga kamu ikut berdiri. Tanganmu dengan lancang mengusap bagian belakang kepalaku dan kembali mencari bibirku. Dan sekali lagi kita berpagutan, nafsumu yang sangat tinggi kepadaku membuatmu melakukan hal-hal yang seharusnya kaumku–lelaki–lakukan. Dengan sendirinya lidahmu menari-nari, dan kamu kalungkan lenganmu di bagian belakang kepalaku. French kiss adalah teknik berciuman yang paling seksi, ucapmu kepadaku saat pertama kali kita melakukannya.

Dengan terpaksa aku mengikuti maumu, tanpa nafsu, tanpa cinta dan tanpa gairah yang membara–seperti dulu. Bunga-bunga cinta yang pernah tumbuh dan mekar dulu, kini telah layu dan mati terlindas oleh waktu. Telah kering saripatinya seiring tak ada lagi komunikasi yang mengairinya dan tak lagi kudapatkan sorot teduh matamu yang menghangatkan jiwaku.

Sebuah pesan masuk di ponselku menghentikan kegilaanmu. Kujauhkan sesaat dirimu sebatas lenganku. Dengan cepat kugapai ponselku yang tergeletak di atas meja kecil.

Nanti siang kita ke butik yah, orang butiknya tadi telepon aku. Mereka bilang gaun pengantinku sudah selesai.

Aku tertegun sesaat, kesadaranku ditampar oleh kerasnya kenyataan. Menyadarkan kebodohanku yang sempat tenggelam dalam bayangan masa lalu. Sebuah pesan pendek dari calon istriku meyakinkanku bahwa romansa masa lalu hanyalah mawar yang penuh dengan duri tajam. Hanya luka yang terjejak saat berusaha kembali menggenggamnya.
“Aku harus pergi,” ucapku tegas. Entah kepada perempuan yang ada dihadapanku ini atau kepada hatiku sendiri. Kulihat matanya kembali sayu. Ada kekecewaaan yang hadir dan tumbuh disana.

“Siapa yang mengirimu pesan tadi? Pacarmu? Aku pikir kamu masih tetap sendiri menungguku,” ucapnya lirik.

Aku menghela nafas panjang, seperti ada sesak yang harus kubuang agar diriku mampu bernafas normal. “Bukan, bukan pacarku.”

Sesaat matanya kembali berbinar, ada senyum yang kembali merekah disana. “Jadi? Kamu masih tetap sendi–”

“Tapi tunanganku, calon istriku. Namanya Rani, dan minggu depan kami akan menikah,” ucapku memotong ucapannya. Sekali lagi senyum diwajahnya memudar. Perempuan itu mematung, kini aku yakin, rasa kecewa sudah menjalari setiap sel di dalam bagian tubuhnya. Aku tahu hal itu dan aku–pernah–merasakannya.

“I... Istri, Ram? Calon istrimu?” Terasa kesedihan dalam beberapa kata yang terucap. Selaksa badai sesaat yang menghancurkan sedikit harap yang masih tersisa. Semua hilang. Semua berakhir dan tak akan pernah ada cerita lain yang memungkinkannya untuk tumbuh lagi.

“Ya, calon istriku. Dan sebenarnya apa yang kita lakukan semalam bukan keinginanku. Just for fun, you know? Always as before. Yeah, before you left me for other man.” Kutatap dingin matanya yang membelalak ke arahku.

“Rama...”

Aku hanya diam seraya mengambil pakaianku yang tercecar di sekitar kamar. Dalam hening kudengarkan tangisnya. Pedih. Aku tahu akan hal itu. Aku lebih dulu merasakan bagaimana rasanya mengetahui orang yang diinginkan namun ternyata akan pergi menikah dengan orang lain. “Aku pergi,” ucapku seraya melangkah ke arah pintu kamar.

“Ram. Rama..., kenapa kamu tidak memberitahuku? Aku pikir... aku pikir kita bisa bersama seperti dulu.” Suaranya serak menahan kesedihan yang menghinggapi dirinya saat ini.

Langkahku terhenti dibelakang pintu. Tanganku terpaku tidak memutar kenop. “Tidak akan ada yang tersisa dari masa lalu. Begitu pun dengan dirimu. Aku pun menyadarinya sejak pertama bertemu denganmu kembali, sore itu. Sebelum cinta yang kita buat semalam, cinta yang hanya dilandasi oleh nafsu, bukan lagi cinta.” Aku membalikkan badanku, kutatapkan mataku ke arahnya. “Masa lalu hanya menjadi bayangan dari kenyataan yang berjalan saat ini, dan kamu adalah salah satunya. Hanya indah saat kunikmati saat aku melepaskan diri dari kenyataan, dan berkelana dalam kenangan. Namun kenangan hanya tetap jadi kenangan, harapan akan tetap menjadi harapan, ketika aku sadar tidak akan pernah dapat menyeret bayangan menjadi sesuatu yang nyata dan dapat kurengkuh dengan tanganku ini.”

Are you happy?” Sepatah kalimatnya kembali membuatku menghentikan gerakanku untuk keluar dari kamar hotel ini.

“Iya, aku bahagia dengan apa yang sudah kumiliki saat ini, Mona. Tidak akan kubiarkan kebahagian ini hilang lagi dari dekapanku.” Kuucapkan kembali namanya. Untuk terakhir kalinya. Ya, untuk terakhir kalinya akan kuucapkan nama itu sebelum benar-benar menguburnya dalam kotak pandora yang takkan pernah kubuka lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar