Selasa, 24 Januari 2012

Ini Bukan Judul Terakhir

Selalu ada akhir dari sebuah awal. Sebuah pepatah umum yang diyakini oleh banyak orang benar adanya. Hal itu juga yang diyakini oleh Julia. Perempuan berwajah khas bumi Parahiyangan dengan bulu mata lentik yang bertengger dikelopak matanya itu pun menyadari, ketika dirinya memulai sesuatu, akan ada akhir yang harus dihadapinya. Dan tak ada akhir yang menyenangkan.

Julia duduk di dalam kamarnya. Jemarinya menyusuri kertas-kertas yang terhampar di atas tempat tidur miliknya. Dia tersenyum, lalu mengambil satu kertas yang sudah cukup lusuh. "Ini puisi pertama yang kamu kirim kepadaku," ucap Julia kepada kertas puisi yang bergeming. "Aku hafal isinya, bahkan saat aku menutup mata, aku masih bisa membaca puisi ini."

Gelisah sedikit menyambangi hati Julia. Dilihat kembali satu per satu puisi-puisi yang dikirmkan oleh Arya, kekasihnya. Puisi-puisi yang dikirimkan oleh Arya dari beberapa kota yang menjadi tempat kediamannya beberapa tahun terakhir.

Memutuskan untuk memulai hubungan jarak jauh, membuat Julia menanggung rindu dan cinta kepada Arya. Julia memulai hubungan dengan Arya sejak 8 tahun yang lalu, namun baru 3 tahun terakhir dia menjalani hubungan jarak jauh dikarenakan perusahaan tempat Arya bekerja selalu mengutus Arya untuk bergabung dengan tim kerjanya yang selalu berpindah-pindah tempat kerja. Perusahaan tempat Arya bekerja adalah perusahaan yang bergerak di sektor tambang mineral, dan Arya termasuk dalam tim pengawas yang bertugas mengawasi lokasi eksplorasi perusahaan yang ada di beberapa daerah.

Julia mengambil selembar kertas puisi yang terlihat paling baru. Surat yang paling baru yang dikirimkan oleh Arya dari kota Martapura. Surat yang juga sebuah puisi yang berjudul "Ini Bukan Judul Terakhir". Surat yang dikirimkan oleh Arya enam bulan yang lalu. Surat yang dikirimkan ditengah hubungan mereka diambang perpisahan. Jarak dengan kejam menguliti perasaan mereka. Julia meminta Arya untuk segera kembali ke kota mereka.

Aku melihat awan berkelebat memenuhi langit
Dan mataku melihat ada wajahmu disana
Berarak pelan dalam hening

Sebuah dusta bila aku tidak mengakui bahwa aku rindu
Hati terjerat, sesak
Pikiranku selalu berlari, kepadamu

Tunggulah aku,
Sejenak saja kuminta kau bersabar
Ini bukan judul terakhir.


Julia mendesah pelan. Menghela kembali nafas untuk menguatkan hatinya untuk kuat bertahan. "Kamu pembohong," ucapnya pelan. Julia menganggap Arya sudah lupa dengannya. Sudah hampir enam bulan tak ada lagi surat dari Arya. Tidak seperti sebelumnya, dimana Arya selalu mengiriminya surat berisi puisi itu sekali dalam satu atau dua bulan. Kabar terakhir yang didapat dari Arya pun tiga bulan yang lalu. Dari sebuah percakapan singkat. Kekasihnya mengabarkan sedang ditugaskan di lokasi yang terpencil dan terisolasi dari sinyal telekomunikasi.

"Hari ini, hari kita delapan tahunan. Tapi kamu nggak ada kabar." Julia bermonolog dengan kertas-kertas puisi yang berserakkan. Mungkin itu surat terakhir darimu, Julia berasumsi dalam hati. "Selalu ada akhir dari sebuah awal. Dan sepertinya hubungan delapan tahun akan berakhir seperti ini. Tragis."

Tetiba dering panggilan masuk di ponsel milik Julia memecahkan hening yang menguasai suasana kamar. Arya Wicaksono. Julia memandangi layar ponselnya. Menatap tidak percaya. "Halo?" ucap Julia serak. Tangis membuat suaranya bergetar tak stabil.

"Kamu kangen aku nggak?" ucap Arya dibalik telepon.

"Banget. Kamu kemana aja kenapa nggak ada kabar? Kenapa nggak kirim surat buatku lagi? Kenapa ga bisa dihubungi sejak tiga bulan yang lalu? Kenapa?" Julia tidak dapat mengendalikan dirinya. Berbagai pertanyaan terlontar cepat dari mulutnya, menuntut jawaban.

"Kalau begitu keluar dari kamarmu sekarang. Aku menunggumu," ucap Arya.

Julia terdiam beberapa detik sebelum memutuskan panggilan dan segera bergegas membuka pintu kamarnya. Arya sudah berdiri di ambang pintu, dia tersenyum kepada Julia. "Kok?" ucap Julia tak dapat menahan rasa terkejutnya.

"Hai." Arya tersenyum kepada Julia. Senyum yang sudah lama tidak dilihat oleh Julia semenjak terakhir mereka bertemu delapan bulan yang lalu. "Maaf, aku nggak kasih kabar selama tiga bulan terakhir. Maaf, nggak ada surat lagi untukmu. Maaf untuk semua kesalahanku. Maaf." Arya memeluk erat bahu Julia dan melontarkan permintaan maaf berkali-kali.

Julia hanya diam mendengarkan dan menikmati hangatnya pelukan kekasihnya itu hingga dia berkomentar, "Aku pikir kamu lupa sama aku. Aku kira kamu sudah berfikir kita akan berakhir."

"Sssttt." Raa menutup bibir Julia dengan jari telunjuknya. "Jangan bicara yang aneh-aneh. Aku kembali, dan aku tidak akan pergi kemana-mana lagi. Masa tugasku sudah selesai. Sekarang aku bakal diempatkan di kantor, bukan lagi di lapangan." Arya memberikan penjelasan kondisi dirinya. "Dan juga, aku tulis di surat terakhir. Bahwa itu bukan judul surat terakhir. Itu hanya awal..." Arya menggantungkan kalimatnya. "Will you marry me?" Arya mengeluarkan sebuah cincin permata dari balik sakunya. "Ini bukan yang terakhir. Ini hanya awal dari judul surat dan puisi cinta lainnya yang ingin aku buat untukmu.

Julia terkisap. Kelopak matanya tak mampu menahan gejolak rasa senang yang dialaminya, seketika airmata kembali mengalir, kali ini airmata bahagia. Dipeluknya erat Arya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar