Sabtu, 31 Maret 2012

Kunang-Kunang

Hari terlalu siang. Aku menunggu malam datang. Untuk berkubang pada kelamnya langit yang bertabur bintang. Sayup-sayup pendaran di langit begitu meneduhkan. Tidak seperti sekarang, gersang menawan langit sehingga dirinya tak bersahabat. Peluh membanjiri tubuh, merangsek keluar dari lubang-lubang super mikro di kulit tubuhku.

Sekarang pukul empat sore, dan matahari masih saja menerikkan panas. Meradiasikan sengatan-sengatan di kulit. Seperti enggan mengalah dan tak mau pulang ke peraduannya. Aku duduk di beranda rumah, mengamati langit yang masih semangat mengibarkan sinarnya dari kursi goyang kesayanganku.

Aku mendesah pelan, dalam ayunan kursi mataku menerawang kepada awan putih yang berarak. Hari begitu cerah, namun juga begitu panas. Hatiku menggerutu menunggu malam datang.

Kamu begitu suka dengan kunang-kunang yang selalu muncul di beranda rumah kita saat malam datang. Katamu, kunang-kunang adalah hewan yang paling pengertian. Dia muncul pada saat malam datang, menerangi malam yang gelap. Seperti menemani orang-orang yang kesepian saat malam datang.

Dulu, aku tak begitu peduli dengan hadirnya kunang-kunang. Bagiku sama saja, asal bersamamu, malamku akan selalu terang dan aku tak peduli akan kunang-kunang. Tapi itu dulu, ketika kamu masih setia menemaniku duduk di beranda ini. Setiap malam kamu berceloteh tentang kunang-kunang, bintang dan sejuknya hembusan angin malam. Seolah menikmati sepi yang dihadirkan malam. Namun kini semua berbeda, kamu tak lagi di sisiku. Tak ada lagi yang berceloteh tentang kunang-kunang, yang ada hanya aku yang menunggu kunang-kunang itu datang. Menanti malam menjelang dan hadirnya akan terangi hatiku yang kelam. Kamu adalah kunang-kunang di dalam hatiku. Pelita yang menerangi dan menghangatkan relung hati. "Malam cepatlah datang, agar aku tak lagi kesepian," ucapku menggumam pelan.

"Kakek... kakek, temeni aku main dong. Kakek jangan diam terus, kalo kakek diam. Aku main sama siapa? Nenek 'kan udah nggak ada. Jadi Kakek yang temeni aku main." Terdengar suara cucuku yang baru menginjak usia 6 tahun. Dia menarik ujung bajuku dengan beragam boneka di lengannya. Wajah polosnya sungguh meneduhkan. Sedikit menghapus duka yang bersarang di hati sejak dirimu pergi dariku dan kembali kepada-Nya.

Aku bangkit dari kursi goyangku, berjalan pelan menemani cucu perempuanku masuk ke dalam rumah. "Shila mau main apa sama Kakek?"

"Kita main boneka-bonekaan aja ya, Kek," ucapnya dengan nada khasnya yang riang. Sayang, sepertinya selain kumbang-kumbang, Shila pun menjadi salah satu pelita hatiku setelah kepergianmu, ucapku dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar