Aku mengingat dengan jelas saat bait itu kamu ucapkan. Suaramu yang terdengar serak dan kering itu masih menggema di daun telinga; berulang-ulang membisiki telinga saat aku memejamkan mata. Waktu telah melompati bilangan bulan,sejak terakhir kamu membacakan sepenggal bait puisi dari penyair yang kamu kagumi itu kepadaku-dan ingatanku masih segar tentang hal tersebut.

Pada saat seperti ini, entah kenapa aku kembali mengingatmu. Mataku terasa panas. Mengingatmu adalah caraku menertawakan takdir. Setelah sekian lama akhirnya aku harus mengakui kata-kata dalang gila itu yang berkata dalam bukunya yang kurang lebih berbunyi; "jatuh cinta adalah takdir, menikah itu pilihan."
Waktu terus berjalan, orang-orang berubah namun kenangan akan selalu kekal. Begitu ucapmu dulu. Bahkan jika nanti jalan kita berseberangan, aku masih akan tetap mengingatmu dengan baik. Timpalmu kembali saat itu.
Lalu tak lama setelah kamu mengatakan hal itu kepadaku, kamu pergi meninggalkanku. Tidak pernah mau menemuiku saat aku menghampiri rumahmu.
Kita seperti sepasang jarum jam yang membentang jarak paling jauh dan bertolak sisi.
"Sajak ini adalah caraku mengingatmu, sebuah cinta yang tak lazim." Lamunanku buyar. Kesadaranku tersentak saat mendengar bait ini dibacakan. Perhatianku segera tertuju pada bagian pojok ruangan. Ada lelaki asing yang membacakan puisi tersebut.
"Jatuh cinta, pelajaran terbaik untuk tabah sebelum dan sesudah sakit. Dalam cinta kehilangan hanya soal mengingat dan melupakan." Airmataku merembas membasahi pipi.
Tak lama lelaki itu datang menghampiriku, dan berbisik. "Selamat untuk pernikahannya."
"Kamu siapa?" tanyaku dengan nada tertahan.
Lelaki asing itu tersenyum. "Aku adiknya. Aku datang mewakili dia. Dia meminta maaf tidak bisa menjawab undangan darimu yang datang ke rumah," ucapnya pelan.
"Di mana dia sekarang?"
"Surga."
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
* FF 310 kata tanpa judul