Mataku terperangah
memandangi pemandangan dihadapanku. "Mungkin ini surga," decakku
kagum.
Pagi
ini sinar mentari mengintip dari ujung cakrawala. Semburat kemilau kuning
keemasannya berpadu mesra dengan warna pasir pantai yang kupijak saat ini,
warna merah mudanya yang sangat menggodaku.
Debur
ombak di Pantai Tangsi ini juga memikatku. Seolah alam berkongsi untuk
membuatku terperangah takjub akan keindahan yang sedang kusaksikan.
"Halo,"
ucapku menjawab panggilan masuk di ponselku. "Iya sore nanti kita jadi
ketemu." Sebuah panggilan dari seorang kawan lama, lama sekali, namun
ingatan dengannya tak pernah bisa dilupa.
***
***
Suara
ombak yang berpelukan dengan bibir pantai bergemerisik di telingaku. Kicau
deburnya menggelitik hati, menggodaku untuk berlari menyongsongnya. Kini
mentari sudah ingin kembali ke sangkarnya, aku berjalan menyusuri bibir pantai.
Menikmati hangatnya cahaya jingga dan pasir berwarna merah jambu yang sedang
kupijak.
"Bagaimana
kabarmu?" tanyaku pada perempuan yg berjalan disampingku sejak beberapa
menit yang lalu; sebuah payung berwarna merah jambu menaungi, membuatnya
terlihat mempesona.
Gia
diam sesaat sebelum menjawab pelan, "Kabarku baik. Kamu sendiri
gimana?"
Aku
menghela nafas sejenak, menghirup udara segar sebanyak-banyaknya. Mengisi
rongga dada yang biasanya diisi oleh polusi. "Baik, walau pekerjaan banyak
dan sedikit tertekan tapi masih bisa dinikmati." Aku tersenyum ke arah
Gia. Kupandangi lagi wajahnya yang dulu bisa kebelai setiap saat. Bola
matanya menantangku, mencoba membaca isi kepalaku melalui tatapan.
"Gilang,
maaf sampai harus memintamu datang ke sini...."
"Tak
apa," ucapku memotong ucapan Gia yang belum selesai. "Seharusnya
sejak dulu aku ke sini. Ternyata tempat ini indah."
Gia
masih membisu, kaki kami masih melangkah pelan di pantai Tangsi. Dalam balutan
cahaya jingga, sesaat kami sama-sama terdiam.
"Justru
aku yang harus meminta maaf. Telah membuatmu lelah menungguku."
"Mungkin
ini memang jalan yang harus kita lewati. Semua sudah ada skenarionya
tersendiri."
Aku
menolehkan lagi wajahku pada Gia. "Kamu percaya dunia paralel? Dunia
dimana kita hidup dengan kondisi yang berbeda.”
“....”
“Mungkin
di sana, kita berdua sedang bersama."
"Ya
aku percaya. Sepertinya aku iri pada mereka," ucap Gia menatap ke arah
senja. Langkah kami terhenti. Pandanganku dengan Gia mengarah pada mentari yang
sesaat lagi ingin terbenam. "Terima kasih, sudah pernah sangat
mencintaiku."
"Aku
pun mencintai diriku yang dulu memujamu," balasku seraya tersenyum kecil.
"Kamu tetap yang terindah di mataku."
Gia
menurunkan payung merah jambu yang sejak awal digunakannya untuk melindungi
dirinya dari silau cahaya senja. Dia mengarahkan badannya padaku. Tanpa aba-aba
aku memeluk Gia yang juga disambut olehnya. Bahu aku dan Gia saling mendekap
erat, seolah melepaskan semua rindu yang lama tertahan.
"Selamat
menempuh hidup baru, masa remajaku," ucapku berbisik sebelum melepas
pelukan dengan Gia. Kulihat kemilau cincin di jari manisnya. "Semoga kamu
bahagia," ujarku mendoakan dengan tulus.
*inspirasi dari film
You Are The Apple of My Eye*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar