Jumat, 20 Juli 2012

Payung Merah Jambu


Mataku terperangah memandangi pemandangan dihadapanku. "Mungkin ini surga," decakku kagum.
Pagi ini sinar mentari mengintip dari ujung cakrawala. Semburat kemilau kuning keemasannya berpadu mesra dengan warna pasir pantai yang kupijak saat ini, warna merah mudanya yang sangat menggodaku.
Debur ombak di Pantai Tangsi ini juga memikatku. Seolah alam berkongsi untuk membuatku terperangah takjub akan keindahan yang sedang kusaksikan.
"Halo," ucapku menjawab panggilan masuk di ponselku. "Iya sore nanti kita jadi ketemu." Sebuah panggilan dari seorang kawan lama, lama sekali, namun ingatan dengannya tak pernah bisa dilupa.

***
Suara ombak yang berpelukan dengan bibir pantai bergemerisik di telingaku. Kicau deburnya menggelitik hati, menggodaku untuk berlari menyongsongnya. Kini mentari sudah ingin kembali ke sangkarnya, aku berjalan menyusuri bibir pantai. Menikmati hangatnya cahaya jingga dan pasir berwarna merah jambu yang sedang kupijak.
"Bagaimana kabarmu?" tanyaku pada perempuan yg berjalan disampingku sejak beberapa menit yang lalu; sebuah payung berwarna merah jambu menaungi, membuatnya terlihat mempesona.
Gia diam sesaat sebelum menjawab pelan, "Kabarku baik. Kamu sendiri gimana?"
Aku menghela nafas sejenak, menghirup udara segar sebanyak-banyaknya. Mengisi rongga dada yang biasanya diisi oleh polusi. "Baik, walau pekerjaan banyak dan sedikit tertekan tapi masih bisa dinikmati." Aku tersenyum ke arah Gia. Kupandangi lagi wajahnya yang dulu bisa kebelai setiap saat.  Bola matanya menantangku, mencoba membaca isi kepalaku melalui tatapan.
"Gilang, maaf sampai harus memintamu datang ke sini...."
"Tak apa," ucapku memotong ucapan Gia yang belum selesai. "Seharusnya sejak dulu aku ke sini. Ternyata tempat ini indah."
Gia masih membisu, kaki kami masih melangkah pelan di pantai Tangsi. Dalam balutan cahaya jingga, sesaat kami sama-sama terdiam.
"Justru aku yang harus meminta maaf. Telah membuatmu lelah menungguku."
"Mungkin ini memang jalan yang harus kita lewati. Semua sudah ada skenarionya tersendiri."
Aku menolehkan lagi wajahku pada Gia. "Kamu percaya dunia paralel? Dunia dimana kita hidup dengan kondisi yang berbeda.”
“....”
“Mungkin di sana, kita berdua sedang bersama."
"Ya aku percaya. Sepertinya aku iri pada mereka," ucap Gia menatap ke arah senja. Langkah kami terhenti. Pandanganku dengan Gia mengarah pada mentari yang sesaat lagi ingin terbenam. "Terima kasih, sudah pernah sangat mencintaiku."
"Aku pun mencintai diriku yang dulu memujamu," balasku seraya tersenyum kecil. "Kamu tetap yang terindah di mataku."
Gia menurunkan payung merah jambu yang sejak awal digunakannya untuk melindungi dirinya dari silau cahaya senja. Dia mengarahkan badannya padaku. Tanpa aba-aba aku memeluk Gia yang juga disambut olehnya. Bahu aku dan Gia saling mendekap erat, seolah melepaskan semua rindu yang lama tertahan.
"Selamat menempuh hidup baru, masa remajaku," ucapku berbisik sebelum melepas pelukan dengan Gia. Kulihat kemilau cincin di jari manisnya. "Semoga kamu bahagia," ujarku mendoakan dengan tulus.
*inspirasi dari film You Are The Apple of My Eye*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar