Jumat, 20 Juli 2012

Bukit Kunang-Kunang (Part 1)


"Kamu jangan lupa buat main ke sini yah. Nanti kita sama-sama lagi." Aku dan Malia duduk di beranda rumahku. Terdengar suara jangkrik menyahuti gemerisik angin yang membelai ilalang yang ada di belakang rumah.
"Iya, aku bakal rindu suasana ini. Aku bakal sering-sering main ke sini." Aku menengadahkan kepalaku ke atas. Memandangi lampu-lampu perumahan di bukit yang seperti cahaya kunang-kunang. Rumahku ada di bagian bawah bukit. Saat malam tiba, dari berandaku bukit itu terlihat seperti dipijari oleh kunang-kunang. Aku dan Malia biasa menyebutnya bukit kunang-kunang.
Suasana sepi menghiasi percakapanku dengan Malia. Tidak seperti biasanya yang selalu hangat, diiringi tawa dan raut wajah ceria. Biasanya aku dan sahabatku sejak kecil itu akan bercerita banyak hal, dari hal remeh hingga hal serius. Tapi tidak malam ini, seolah malam sukses membisukan kami.
"Setelah aku pergi nanti, kamu masih tetap memandangi bukit kunang-kunang?" tanyaku yang hanya dijawab oleh kebisuan.
Kulihat Malia memeluk lututnya dan membenamkan wajahnya di sana. Aku kembali memandangi bukit kukang-kunang, sebuah kebiasaan rutin-hampir setiap hari-yang aku lakukan setiap malam bersama Malia. Dia yang sudah berteman dekat denganku sejak kecil dan rumahnya yang hanya berjarak beberapa meter dari rumahku, selalu menjadi pasangan setiaku membunuh kebosanan. Dan mulai besok, kebiasaan itu harus berakhir.
Aku mendesahkan nafas, sedikit helaan yang melegakan dada. Besok aku sekeluarga akan pindah ke Jakarta, sebab dipromosikannya ayahku untuk menjadi manajer di kantor pusat yang ada di Jakarta.
"Kenapa kamu nggak tinggal di sini? Tinggal sama bibi kamu?" ucap Malia yang terdengar lirih. Dia masih menundukkan kepala saat kulirik dirinya.
Aku hanya diam tidak dapat menjawab pertanyaan terakhir dari Malia saat kudengar isak tangisnya. Hal yang paling jarang kudengar, sebab bagi Malia tangisan adalah hal terakhir untuk menggambarkan sebuah kesedihan yang mendalam. "Mal, sudah malam. Ayo aku antar pulang." Aku membujuk Malia agar menghentikan tangisnya dan pulang.
Saat diperjalanan pulang, kami berjalan bersisian, Malia masih menundukkan wajahnya saat berjalan. Sesampai di rumahnya, Malia menarik tanganku pelan. "Jangan lupa sering-sering ke sini. Aku bakal kesepian mandangi bukit kunang-kunang itu," ucap Malia seraya menyunggingkan senyum.
Aku membalas senyum Malia dengan lirih. Aku tahu, senyumnya tadi adalah senyum penuh paksaan. Pelupuk matanya terlihat mengembang dengan bola mata yang memerah, cukup memberitahukanku seberapa besar kesedihannya.
Sebuah lambaian tangan menjadi salam perpisahanku dengan Malia. Dalam dinginnya hembusan angin malam, aku memeluk tubuhku yang kedinginan. Mulai besok, kesepian akan menjadi pengganti Malia di sisiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar