"Kamu
jangan lupa buat main ke sini yah. Nanti kita sama-sama lagi." Aku dan
Malia duduk di beranda rumahku. Terdengar suara jangkrik menyahuti gemerisik
angin yang membelai ilalang yang ada di belakang rumah.
"Iya,
aku bakal rindu suasana ini. Aku bakal sering-sering main ke sini." Aku
menengadahkan kepalaku ke atas. Memandangi lampu-lampu perumahan di bukit yang
seperti cahaya kunang-kunang. Rumahku ada di bagian bawah bukit. Saat malam
tiba, dari berandaku bukit itu terlihat seperti dipijari oleh kunang-kunang.
Aku dan Malia biasa menyebutnya bukit kunang-kunang.
Suasana
sepi menghiasi percakapanku dengan Malia. Tidak seperti biasanya yang selalu
hangat, diiringi tawa dan raut wajah ceria. Biasanya aku dan sahabatku sejak
kecil itu akan bercerita banyak hal, dari hal remeh hingga hal serius. Tapi
tidak malam ini, seolah malam sukses membisukan kami.
"Setelah
aku pergi nanti, kamu masih tetap memandangi bukit kunang-kunang?" tanyaku
yang hanya dijawab oleh kebisuan.
Kulihat
Malia memeluk lututnya dan membenamkan wajahnya di sana. Aku kembali memandangi
bukit kukang-kunang, sebuah kebiasaan rutin-hampir setiap hari-yang aku lakukan
setiap malam bersama Malia. Dia yang sudah berteman dekat denganku sejak kecil
dan rumahnya yang hanya berjarak beberapa meter dari rumahku, selalu menjadi
pasangan setiaku membunuh kebosanan. Dan mulai besok, kebiasaan itu harus
berakhir.
Aku
mendesahkan nafas, sedikit helaan yang melegakan dada. Besok aku sekeluarga
akan pindah ke Jakarta, sebab dipromosikannya ayahku untuk menjadi manajer di
kantor pusat yang ada di Jakarta.
"Kenapa
kamu nggak tinggal di sini? Tinggal sama bibi kamu?" ucap Malia yang
terdengar lirih. Dia masih menundukkan kepala saat kulirik dirinya.
Aku
hanya diam tidak dapat menjawab pertanyaan terakhir dari Malia saat kudengar
isak tangisnya. Hal yang paling jarang kudengar, sebab bagi Malia tangisan
adalah hal terakhir untuk menggambarkan sebuah kesedihan yang mendalam.
"Mal, sudah malam. Ayo aku antar pulang." Aku membujuk Malia agar
menghentikan tangisnya dan pulang.
Saat
diperjalanan pulang, kami berjalan bersisian, Malia masih menundukkan wajahnya
saat berjalan. Sesampai di rumahnya, Malia menarik tanganku pelan. "Jangan
lupa sering-sering ke sini. Aku bakal kesepian mandangi bukit kunang-kunang
itu," ucap Malia seraya menyunggingkan senyum.
Aku
membalas senyum Malia dengan lirih. Aku tahu, senyumnya tadi adalah senyum
penuh paksaan. Pelupuk matanya terlihat mengembang dengan bola mata yang
memerah, cukup memberitahukanku seberapa besar kesedihannya.
Sebuah
lambaian tangan menjadi salam perpisahanku dengan Malia. Dalam dinginnya
hembusan angin malam, aku memeluk tubuhku yang kedinginan. Mulai besok,
kesepian akan menjadi pengganti Malia di sisiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar