Senin, 16 Desember 2013

Sebatang Pohon dan Tukang Kayu

Aku mengingatmu sebagai sebatang pohon yang penuh goresan kala aku menemukanmu sore itu, di tengah belantara kota ini. Daunmu rindang, menawarkan teduh kala di dekatmu, namun, seperti ranting di musim kemarau, kau begitu rapuh kala angin menghempaskan dirinya ke arahmu.

Aku akan selalu mengingatmu sebagai sebatang pohon yang koyak oleh hujan. Hal yang seharusnya membahagiakan, justru menggoreskan satu per satu duka di dalam hatimu. Dan aku, laiknya tukang kayu yang tak rela melihat sebatang pohon hanya menjadi sebatang pohon yang sia-sia. Sebab itulah, aku berusaha membentukmu, dari sebatang pohon yang terluka menjadi hal lain yang lebih indah.

Aku pandai membuat, sayangnya tak dianugerahi kemampuan mempertahankan yang sama mumpuni.

Setiap hujan, aku selalu mengingatmu sebagai sebatang pohon yang kuyup oleh kesedihan, dan aku pelan-pelan menghilangkan bagian itu satu per satu dari tubuhmu. Lalu membuatnya menjadi sebuah pajangan yang menghiasi ruang tamuku, kursi yang menemaniku nenghabiskan waktu di sore hari untuk membaca dan ranjang yang setia menerima tubuhku tiap malam.

Hal-hal itu akan selalu kembali dalam pikiranku saat gerimis mulai turun dan menggemericikkan sunyi. Adakah kau mengalami hal seperti itu?

Aku selalu menjadi pemenang dalam hal membuat tapi selalu kalah dalam mempertahankan. Seperti malam itu, ketika hujan tiba, kau lebih memilih menempati ruang tamu yang lain, menemani orang lain duduk berlama-lama denganmu dan menerima rebah tubuhnya tiap malam, bukan aku.

Semoga, hanya aku yang menjadi tukang kayu yang jatuh cinta kepada sebatang kayu yang koyak oleh hujan, lalu membentuknya menjadi furniture yang lebih menginginkan menjadi pemanis di rumah yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar