Rabu, 02 November 2016

Membaca Chairil: Menyusuri Kembali Jalan yang Dijejaki Sang Bohemian

Apa yang kamu pikirkan ketika pertama kali mendengar nama Chairil? Puisi berjudul Aku? Rokok? atau kehidupan bohemian sang penyair?

Ada banyak hal mengenai Chairil dan puisi-puisinya yang selalu menjadi hal yang sangat menyenangkan untuk diperbincangkan. Di hari minggu yang mendung tanggal 23 Oktober 2016, GagasMedia bersama teman-teman Malam Puisi Jakarta, Bekasi dan Depok, Jakarta Good Guide dan Komunitas Ke Kini mengadakan rangkaian acara #MembacaChairil.

sumber: dari sini
Membaca Chairil sendiri merupakan sebuah acara beruntun yang dimulai dengan napak tilas ke tempat-tempat yang berkaitan dengan masa hidup sang penyair (Rs. Cipto Mangunkusumo, Metropole dan Taman Ismail Marzuki) bersama teman-teman dari Jakarta Good Guide. Walau hujan sempat mengguyur Jakarta, acara tetap berlangsung. Tanpa disadari, bahwa ada cucu dan cicit dari Chairil Anwar yang ikut serta dalam rombongan. Ya, anak dari Evawani (satu-satunya anak kandung Chairil) bersama anaknya (cicit Chairil) ikut serta berbaur bersama teman-teman lainnya yang menyusuri tempat-tempat yang berkaitan dengan Chairil.

Setelah berkeliling singkat, tur diakhiri dengan perhentian terakhir di Jalan Cikini Raya No. 45, tempat Komunitas Ke Kini berada. Di dalam ruang serbaguna ini, teman-teman dari Malam Puisi, GagasMedia dan Mas Hasan Aspahani sudah menunggu untuk dimulainya diskusi buku beliau, yaitu buku biografi mengenai Chairil.

Hidup berlangsung antara buritan dan kemudi | Pembatasan cuma tambah menyatukan kenang. - kabar Dari Laut

Diskusi dibuka oleh pembacaan 4 buah puisi dari teman-teman Malam Puisi Jakarta. Puisi berjudul Cintaku Jauh di Pulau dibacakan oleh Astrajingga Asmasubrata, Senja di Pelabuhan Kecil dibacakan oleh Riza Hamdani, Tak Sepadan dibacakan oleh Syahrul dan Penerimaan dibacakan oleh saya sendiri. hehe

sumber: dari sendiri
Setelah pembacaan puisi selesai, dimulailah diskusi yang dipandu oleh salah satu punggawa Malam Puisi Jakarta, Ika Fitriana. Ada beberapa bahasan menarik dan menggelitik dari diskusi ini. Dalam bukunya, Mas Hasan memberikan sudut pandang yang lain mengenai Chairil. Beliau menjelaskan perempuan-perempuan yang ada di sekitar Chairil selain istrinya Hapsah, yang menjadi inspirasi Charil dalam menuliskan puisi-puisinya yang jumlahnya hanya 70 puisi.

Chairil diketahui oleh banyak orang adalah penyair yang hidup luntang lantung di jalanan Jakarta sejatinya adalah anak orang kaya. Ayahnya adalah bupati di salah satu kota di Sumatera. Dalam bukunya, Mas Hasan menyingkap alasan-alasan mengapa Chairil harus menjalani hidup dengan cara memprihatinkan (jika memang harus dikatakan seperti itu).

Aku berkaca | Ini muka penuh luka | Siapa punya? - Selamat Tinggal

Mas Hasan pun menjelaskan tentang dugaan plagiasi yang dilakukan oleh Chairil pada puisi Karawang - Bekasi, juga tentang pertanyaan mengenai asal muasal pertama kalinya puisi Aku (yang menjadi puisi paling iconic) dibacakan oleh Chairil di depan Rosihan Anwar, Jassin, dan Usmar Ismail.

Ada banyak hal yang diungkap dan dijelaskan oleh Mas Hasan Apsahani dalam buku terbarunya, hal-hal mengenai Charil yang luput dan belum terungkap secara umum. Selain mengenai kehidupan dan cara hidup Chairil yang bohemian, dalam diskusi dan buku juga disebutkan tentang asal muasal puisi-puisi yang ditulis. Bahwa puisi-puisi yang ditulis oleh Chairil selalu mempunyai cerita, untuk dan sebab apa puisi itu dibuat.
Diskusi yang berlangsung selama 1,5 jam meninggalkan banyak pertanyaan-pertanyaan mengenai Chairil. Pertanyaan, yang akan terjawab dengan membaca buku terbaru Mas Hasan Apsahani yang berjudul Chairil.

sumber: dari sini

Selepas diskusi, acara ditutup dengan adanya Malam Puisi bersama-sama teman-teman dari Malam Puisi Jakarta, Depok dan Bekasi. Dipandu oleh Andi Gunawan mengajak peserta acara untuk membacakan kembali puisi-puisi milik Chairil.

Malam Puisi dibuka oleh Mas Hasan yang membacakan naskah radio milik Chairil, lalu kemudian ada Mas Gabriel Mayo yang bernyanyi. Malam Puisi dimulai dengan dibacakannya Diponegoro secara teatrikal oleh Mas Al. Kemudian satu per satu teman-teman peserta maju dan membacakan puisi-puisi Chairil lainnya. Petjah!!





Mengutip perkataan Mas Hasan: "Wajah perpuisian Indonesia berubah sejak dibacakannya puisi Aku oleh Chairil Anwar. Sejak saat itu puisi-puisi di Indonesia tidak lagi sama, tidak lagi penuh metafora dan bahasa yang mendayu-dayu."

Terima kasih, Chairil!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar