Awan putih beriringan di awan. Mengarak di langit yang cerah dengan warna biru mendominasi pandangan. Siang ini hawa sangat bersahabat, angin bersemilir lembut menerpa wajah. Menggelitik rambut-rambut kecil yang mencuat dari pinggir telinga. Menerbangkan pucuknya menari-nari
membelai udara. Gemerisik ranting yang bergoyang menambah syahdu suasana. Pepohonan di dalam pandangan mata bergerak perlahan, menimbulkan gesek yang menimbulkan riuh ketenangan. Di sebuah bangku taman, Tita duduk bersama sahabatnya menikmati ketenangan yang ditawarkan, menyesapi segarnya aroma pepohonan yang meneduhinya.
"Aku ingin seperti daun," ucap Tita, membuyarkan lamunan Rinto. "Setegar daun" lanjut Tita, dengan suara tegas. Rinto menatap bola mata Tita, helaian rambutnya yang diterbangkan angin melayang-layang pelan menutupi sebagian wajahya.
"Ahh kamu Ta, hidup itu enggak kayak puisi lagi", kata Rinto dengan gurau membalas ucapan Tita. Senyum sinis Tita, mengembang. Bahunya dinaikan beberapa senti, dan matanya membelalak memandangi Rinto.
“Emang Sapardi ajah yang bisa hidup dengan daun!" seloroh Tita, menyebutkan pengarang favoritnya. Membuat Rinto tersentak beberapa detik. Perkataan Tita terlalu cepat terontar.
"Apa sih Ta, asiknya baca puisi? dibaca puluhan kalipun aku tetep ajah enggak ngerti apa maksudnya. Mending baca Manusia Setengah Salmon, ceritanya kocak-konyol penulisnya ganteng, kayak gue...," ujar Rinto seraya menyibakan rambut klimisnya ke hingga ubun kepala.
Tita, tersenyum cekikikan yang ditahan-tahan. Ia memandang Rinto, sahabatnya sejak kuliah dua tahun lalu. "Aku tahu kamu itu ganteng Nto, tapi kok aku gak mau jadi pacar kamu yah," ucap Tita, dengan panggilan akrabnya kepada Rinto.
Rinto cuma bisa senyum asin, pikirannya mulai tidak setenang suasana taman. Dadanya bergetar lebih kencang dari sebelumnya. “Ah, Tita,” bisik Rinto mengangguk. Persahabatan adalah komitmen termahal yang mampu dimiliki oleh seseorang, persahabatan laiknya sebuah ikatan percintaan yang menuntut banyak pengorbanan. Banyak perihal ajaib yang bisa dimiliki oleh sepasang sahabat. Dan yang paling berharga adalah; cinta.
Cinta. Itulah sebenarnya yang dirasakan Rinto kepada Tita. Rinto tidak tahu bagaimana melukiskan perasaan lewat puisi, Rinto tidak tahu bagaimana puisi bisa disebut-sebut oleh Tita sebagai cinta sejati.
Persahabatan bisa dimulai dengan cara seperti apa pun dan dalam kondisi bagaimana pun. Tidak ada yang tahu pasti. Rinto dan Tita pun mengalami hal serupa. Pertemuan pertama yang menjadi awal dari kedekatan mereka. Kisah persahabatan tercipta bukan hanya karena banyak kesamaan dan sepaham saat berkomunikasi. Terkadang ada masalah dan perbedaaan pendapat yang berujung meruncingnya ego dalam diri masing pihak. Tita yang merupakan penggila puisi, dan mengagumi setiap keindahan bait yang terkandung dalam sajak-sajak tak bernama, sementara Rinto tidak menyukai puisi, lebih tepatnya lelaki itu tidak mengerti puisi. Baginya puisi hanya rangakaian kata indah. Ya, hanya indah saja. Tidak lebih.
Rinto masih terduduk di bangku taman, memperhatikan Tita yang masih berbaring menatap langit. Menikmati cerahnya warna biru yang ditawarkan awan kepada matanya. Kemudian dia beranjak ke arah Tita. Ikut berbaring di samping sahabatnya itu. Ikut memadang langit. Mencoba menerka apa yang dipikirkan Tita saat ini.
Tita menengok ke arah Rinto. "Nto, lihat awan itu," ucap Tita menunjuk ke arah kanan pandangann. "Awannya bagus yah. Tebal, putih dan terlihat lucu, walau aku gak tau, itu bentuknya apa." Tita tertawa kecih dan renyah.
Senyuman kecil terbit secara otomatis di bibir Rinto. Melihat Tita tertawa lepas seperti itu selalu berhasil membuat hatinya ikut tersenyum. Tanpa disadari, ada rasa yang tak biasa di hati Rinto. Mungkin lebih dari sekedar persahabatan.
“Puisi itu duka abadi, Nto” lirih Tita, membisik pelan di telinga Rinto yang telah berbaring disebelah Tita, di atas sepetak padang rumput taman.
Rinto, tertegun. Pandangannya melayang-layang ke langit dan derak awan putih, pikirannya sibuk dalam tatapan kosong. Rinto, pelan-pelan mengobrol dalam ramainya pengunjung taman pada awan. Obrolan sunyi, suaranya terpendam dalam hati.
Tita, memejamkan matanya. Tangannya memainkan rumput diujung jari-jari. Ia mulai merasakan kedamain yang bermisteri di samping Rinto. Aku, barangkali-iya-menyukai
Rinto, juga, bisik Tita, dalam hati.
“Nto, apa kabar pacar kamu?” tanya Tita, begitu tiba-tiba.
Rinto, terkaget dengan petanyaan Tita, yang selalu keluar secepat detik. “Baik” jawab Rinto refleks.
“Dia enggak marah kamu nemenin aku hari ini?”
“Mmm.... aku udah bilang sih, kalau aku mau jalan sama kamu. Tapi yaa... dia enggak bilang apa-apa tuh,” jawab Rinto apa adanya.
Rinto sudah memiliki pacar. Tita, juga. Rinto, jatuh cinta pada pandangan pertama, sedang Tita, terlambat. Ketika dia akan memilih Rinto, dan memberi jawaban ‘ya’ atas ungkapan perasaan Rinto beberapa bulan sebelumnya. Rinto, sudah menyerah atas perasaannya pada Tita, dan memilih Kemala, teman sekelasnya yang diam-diam menyukainya.
Rinto memilih Kemala, dengan banyak alasan salah satunya; Rinto mengerti bagaimana perasaan Kemala. Apa yang dirasakan Kemala padanya serupa dengan perasaannya pada Tita. Kemala, perempuan pendiam sebaliknya Tita, misterius dan menantang. Tita, bukan tipe perempuan kebanyakan yang akan menurut apa yang dikatakan kebanyakan orang. Tita, beda. Tita menjadi dirinya sendiri yang keras dan tak mau kalah. Dibalik kecuekan Tita, Rinto merasakan perasaan yang begitu lembut. Dan Tita, sulit tersentuh. Tita tidak akan mengaku, walau Rinto tahu Tita, merasakan perasaan yang sama.
“Nto, kenapa kamu enggak kenalin pacar kamu ke aku?” tanya Tita.
“Kamu juga enggak kenalin pacar kamu” jawab Rinto, begitu saja.
Tita diam. Perasaannya terburai ditengah cuaca yang menyenangkan. Tidak ada yang harus dia urai tentang perasaannya kepada Rinto. Sudah cukup bagi Tita, persahabatan adalah kado teristimewa yang dia dapat dari Rinto.
Ketika Rinto menyatakan perasaannya pada Tita, sebetulnya Tita senang. Hanya saja, waktunya belum pas ketika Rinto meminta jawaban dan kepastian hubungan. Tita perempuan bebas yang tidak terlalu memikirkan ikatan, bagi Tita, sikapnya adalah sebuah jawaban bahwa dia juga menyukai Rinto. Tapi bagi Rinto, kata-kata ‘Ya, aku pacar kamu’ dari Tita, harus ia dapatkan. Dan Tita, tidak mengatakan itu.
:: cerpen yang ditulis bersama Maliya (@malliyya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar