This is the last day of my life, i mean my single life. Sebelum akhirnya aku menjadi milik orang lain dan kehidupanku tidak lagi sama.
Am I happy or sad? I don't know
Di satu sisi aku merasa bahagia. Helloo, siapa yang tidak bahagia saat prince charming-nya melamar dengan berlian murni di Orchard Road? Siapapun yang mengalaminya pasti akan bahagia. Namun, kesedihan juga menyapaku malam ini meski penyebabnya, aku tidak terlalu tahu.
Sebentar lagi. Hanya dalam hitungan hari, aku akan menjadi istri dari lelaki yang sudah 4 tahun menjadi kekasihku. Dinikahi oleh kekasih tercinta adalah impian setiap wanita, termasuk aku. Pernikahan, pesta, gaun pengantin dan sumpah setia di depan Pastur menjadi bayangan terindah yang menghinggapi mimpiku beberapa hari terakhir.
Beberapa hari lagi. Ya, beberapa hari lagi aku akan melepas masa lajangku.
And here I am now. Menggasak kartu kreditku demi sebuah private party di Immigrant. Namanya saja yang private tapi acaranya tidak mengenal privasi sama sekali.
Bagaimana bisa mengharapkan privasi selama 500 tamu masih berkeliaran di sekitarku, menanyakan segala printilan terkait pesta pernikahanku?. Padahal, jika bisa, aku ingin pesta ini benar-benar privat, hanya terjadi antara aku dan Josh, sahabat terbaikku.
“Mana ada bachelorette party yang isinya cuma dua orang, Nina?” Josh menoyor kepalaku sewaktu mengutarakan keinginanku ini minggu lalu.
Well, he was right. Sepertinya pernikahan sudah membuat otakku lelah bekerja.
“Nyerah?” tanya Josh seraya menyentuh daguku hingga menatapnya.
Dia tersenyum jahil.
“Give me more.”
Josh tertawa. “Lo udah mabuk. Nyerah aja deh.”
“Shut up.” Menyerah kepada Josh? Sampai kiamat aku juga nggak mau.
"Nin," panggilnya. Jemarinya membelai lembut daguku. Dia mendekatkan wajahnya. Jarak antara hidungku dan hidungnya hanya tinggal beberapa senti, " lo cantik."
Dadaku berdetak kencang. "Lo yang mabuk, Josh," ucapku mengelak. Kupalingkan wajah menghindari tatapannya yang menusuk.
Josh kembali menolehkan wajahku ke arahnya. Pandangannya terasa menelanjangi hatiku. Gemuruh terbit perlahan di dalam dadaku. Jantung berdetak lebih cepat dari biasanya. Dadaku sesak. Seperti akan ada yang melesak dari dalamnya.
Aku tak bisa menghindar. Tatapan itu mngingatkanku kepada perasaanku dulu. Dulu sekali. Sebelum persahabatan ini muncul. Mungkinkah aku masih menginginkannya? Entahlah. Yang kutahu, aku malah mendekatkan wajah hingga hidung kami saling beradu. Tak lagi kupedulikan ratusan tamu lainnya.
“I think you need more Martini,” bisikku, tepat sebelum bibirnya menyentuh bibirku. Sebelum aku kehilangan akal sehat.
“I think I need you,” balasnya.
Sekuat tenaga kukais sisa-sisa kesadaran yang kupunya. Satu minggu lagi aku akan menjadi istri Panji, pria paling sempurna untukku. Bagaimana mungkin sekarang, di pesta lajangku, aku malah terjebak dalam pesona sahabatku sendiri?
Kucoba mendorong Joshua agar menjauh. Sia-sia saja. Selain karena pengaruh alkohol di tubuhku, juga karena sejumput perasaan aneh yang melandaku.
Bertahun-tahun aku mengangap Joshua sebagai sahabat, mengapa malam ini aku merasa enggan menganggapnya sebatas sahabat saja?
Dasar bodoh. Ingat Panji, calon suamimu, Nina.
Namun, saat mataku bersitatap dengan mata sayu Josh, akal sehatku kalah telak dengan kata hatiku.
Dalam sekejap bibir kami berpelukan. Entah siapa yang memulai, aku tak peduli. Pikiranku sudah berhenti bekerja. Tidak ada lagi yang kupikirkan, selain menikmati ciuman lelaki yang beberapa menit lalu masih kuanggap sebatas sahabat. Ditengah ratusan pasang mata, aku bercumbu dengan sahabatku. Tak kupikirkan lagi pernikahan yang akan kujalani beberapa hari lagi.
Josh merengkuh tubuhku ke arahnya.
“I think I need you, too, Josh,” ucapku lembut di belakang telinganya.
" Dan kemudian kesadaranku lenyap entah kemana. Hal terakhir yang kuingat, Jo membopongku keluar dari Immigrant saat bibir kami masih bercumbu mesra.
So, it’s gonna be private now.
***
I hate jazz. Musik itu hanya cocok sebagai lullaby, bukan sebagai nada dering. Namun Panji tidak pernah menggubrisku. Dia bahkan memasang sendiri musik jazz sebagai nada dering khusus untuknya.
Dan sekarang, musik itulah yang membangunkanku.
Aku mengerang seraya meregangkan ototku yang terasa sakit. Pusing masih menguasaili, efek bergelas-gelas Martini yang kutenggak semalam sebagai bagian dari wine-wine solution bersama Joshua.
Telepon sialan. Mengapa Panji selalu meneleponku di saat yang salah?
Seperti sekarang. Pertama, ini masih pagi, dan kedua, ada Joshua di sebelahku.
Shit! what I did last night? Sleeping with my bestfriend one week before my wedding? Gila. Dan jadi semakin gila saat Panji, tunanganku, tengah menungguku mengangkat teleponnya, sementara di sebelahku, Joshua tampak tenang membelai rambutku.
“Angkat gih.”
Terbata-bata aku mengangkat telepon itu. “Halo, Sayang?”
"Halo, Sayang."
Aku mengerjap pelan. "Iya,," balasku dengan nada malas. Aku masih ingin berbaring. Masih ingin memeluk dada Josh yang tertidur di sampingku. Masih ingin merasakan kehangatan yang dipancarkannya.
"Kamu dimana? Kata mama kamu nggak pulang?"
“Enggg, aku nginep di apartemennya Sar. Soalnya acaranya sampai pagi, dan aku nggak bisa nyetir sendiri," sahutku seraya mengambil ponsel Josh yang ada di meja, lali mengetik pesan singkat untuk Sari.
"Oh, yaudah. Cepet pulang yah. Masih ingat, kan, kalau ntar siang kita harus ke butik, buat ngepasin baju pengantin?"
"Iya aku ingat. Bentar lagi aku pulang. Udah dulu ya."
"Oke. Love you, Nin."
Belum sempat aku meletakkan handphone di atas nakas, Josh lebih dulu menyambar lenganku dan menarikku ke dekatnya. “Sorry,” bisiknya.
“For what?”
“Kamu tahulah.”
Aku berbaring menyamping dengan satu tangan menopang kepala. “Minta maaf karena baru menganggap kehadiranku sekarang atau karena telah meniduri sahabatmu yang akan menikah minggu depan?”
Pertanyaanku menyentaknya. Dia kelihatan semakin salah tingkah. “Dua-duanya.”
“You know what? I enjoy it last night.”
“Tapi kamu akan menikah. Tidak seharusnya…”
“Tidak seharusnya kamu memendam perasaanmu selama ini dan baru menyadarinya di saat aku akan menikah. Itulah yang harus kita sesali jika kita harus menyesal sekarang.”
Aku berhasil menarik atensinya. “Kita?”
“Ya, because I’m falling in love with my bestfriend since long time ago. But he never realize.”
“Nin, jangan bercanda.”
“Aku serius. Tapi sekarang kita bisa apa?”
Josh memelukku. “I’m sorry. Really sorry.”
Josh, andai maafmu bisa memutar kembali waktu, maka aku akan dengan senang hati memaafkanmu. Tapi, kita tidak bisa meminta itu bukan?
“We are still friend, right?” Apa kamu tahu, Josh, berat rasanya berkata begitu?
Tidak ada jawaban darinya. Alih-alih dia semakin mempererat pelukannya.
Is there any way for me to get out of this shit?
Bayangan Panji melintas di benakku, dan kuanggap itu sebagai jawaban. Jawaban mutlak.
There is no other way, Nina.
:: Tulisan duet bersama @iipche
Tidak ada komentar:
Posting Komentar