Pernahkah kamu membayangkan rasanya menjadi seorang Ibu tapi kamu sendiri ragu untuk membesarkan anakmu dan bahkan kamu sendiri tidak tahu apasih enaknya menjadi seorang Ibu yang menjadi cita-cita seorang perempuan?
Aku, seorang ibu dari seorang bayi perempuan yang kulahirkan sendiri, tanpa suami yang aku beri nama Permata.
Aku memang tidak pernah menikah, dan laki-laki itu, yang seharusnya mempertanggungjawabkan perbuatannya, perbuatan kami, memilih untuk lari.
Kenapa tidak aku gugurkan saja kandunganku kalau aku sendiri belum siap? Karena aku tidak mau menambah kesalahanku lebih dari ini.
Dan Permata adalah bukti dari kesalahanku yang pertama dan terakhir kali.
Saat ini Permata sudah memasuki usia 1 tahun, usia yang sedang lucu-lucunya kata orang-orang. Tapi aku sama sekali tidak melihat rona kelucuan dari wajahnya. Wajahnya terlalu mirip dengan lelaki yang paling ingin paling kubenci.
Bahkan Ibu suka mengomel-ngomel saat aku sedang bersamanya.
“Aliya, itu kepalanya Permata dipegang dong kalo mau digendong…”
“Aliya, Permata daritadi menangis terus. Kapan kamu terakhir memberinya susu?”
Dan banyak sekali ocehan Ibu yang membuatku semakin sadar kalau aku tidak menyayangi Permata. Aku membencinya!
***
“Diam!!” bentakku kepada Permata yang ada di gendonganku. Sejak tadi dia tak juga berhenti menangis, padahal sudah kuberikan sebotol susu.
“Diam!! Anak sialan.” Aku memaki lebih kencang. Tangisannya semakin kencang. Aku dibuat frustasi oleh jeritan tangisnya yang memekakkan telinga. Kuhempaskan tubuh mungilnya itu ke kasur, lalu kutinggalkan Permata menangis sendiri, dan aku pergi keluar dari kamar.
“Astagfirullah, Aliya,” ucap Ibu saat mendengar tangisan Permata di dalam kamar.
“Aliya!! Kamu ini. Anakmu nangis kok ditinggal di dalam kamar?” Ibu mengomeliku karena kelakuanku. Apa yang Ibu ucapkan hanya masuk ke kuping kanan lalu dengan segera akan keluar dari kuping kiri. Terserah.
Aku diam memandangi televisi yang menampilkan acara gosip terhangat selebrita di negeri ini, sementara Ibu sibuk menimang Permata yang perlahan tangisnya mereda. Aku tetap tak peduli.
Kata orang, kehadiran anak dalam kehidupan seorang wanita akan menambah kebahagiaan yang dimiliki oleh wanita tersebut. Namun sepertinya hal itu tidak berlaku bagiku.
***
“Aliya, Ibu ingin berbicara denganmu.” Ibu menghampiriku yang masih asik menonton TV. Tidak ada Permata dalam gendongannya, sepertinya dia berhasil menidurkannya. Paling tidak aku tidak akan mendengarkan tangisnya.
“Ada apa, Bu? Apakah soal Permata lagi?”
“Bisakah kamu mengurus Permata dengan baik? Dia masih kecil, Aliya, dia belum mengerti apa-apa.”
Aku justru membentak Ibu. “Aku benci dia karena dia mirip dengan lelaki itu. Jadi berhentilah Ibu menyalahkanku.”
PLAK!
Sebuah tamparan keras mengenai pipi kananku. Aku langsung memegang pipiku dengan sebelah tangan, dan menatapnya dalam-dalam. Seumur hidupku, Ibu tidak pernah menamparku.
“Kalau Ibu memang tidak mau membantuku mengurus Permata, aku titipkan saja di ke Panti yang memang bisa menjaganya.”
Ibu menatapku dengan tatapan gusar. “Aliya, jangan. Maafkan Ibu…”
“Terlambat, Bu!” Aku masuk ke dalam kamar, menimang Permata yang masih tertidur, dan menemui Ibu kembali. “Ibu, tau? Sampai kapanpun aku tidak akan pernah tulus merawat
Permata karena wajahnya mirip dengan lelaki itu.”
Aku mendobrak pintu dan keluar dari rumah. Air mataku tak terbendung…
***
Aku berjalan keluar rumah, bersama Permata dalam timanganku. Mencari panti asuhan yang tepat untuk tempat menitipkannya. Langit sudah menggulung semburat senja. Pelat-pelat warna jingga sudah mewarnai awan yang menggumpal. Sebentar lagi malam akan datang, bersama malam yang pekat.
Kakiku terus melangkah jauh dari rumah. Masih pantaskah tempat itu kusebut rumah? Menjalani kehidupan secara bertahun-tahun di sebuah kediaman tanpa cinta. Bukankah rumah adalah tempat berpulang yang penuh kasih sayang? Aku terdiam. Merenungi kembali makna rumah dan kasih sayang yang tak pernah ada di hidupku.
Aku memutuskan untuk singgah sementara waktu. Di depan sebuah bale-bale yang ada di pinggir jalan, di dekat perumahan warga. Kusekap bulir-bulir keringat yang bertumpuk di dahi. Kuedarkan pandanganku pada pejalan kaki yang berlalu lalang di depanku. Mataku tertumbuk pada sepasang ibu dan anak pemulung yang terduduk di pinggir trotoar. Mereka sedang terduduk menyantap nasi bungkus. Aku memperhatikannya bukan karena lapar. Tapi memperhatikan mereka yang terlihat begitu akrab, si Ibu sesekali mengomel ke si anak karena makannya berantakan. Terlihat kehangatan di antara mereka. Membuat hatiku terenyuh. Dalam kemiskinan pun mereka tidak kehilangan identitas mereka sebagai sebuah keluarga.
Aku mengalihkan pandanganku kepada Permata yang masih lelap tertidur dalam dekapanku. Kuperhatikan wajah mungilnya yang tertidur tenang, lucu dan polos. Dadaku mengembang, semilir kehangatan mengalir masuk dalam rongga dadaku. Aku terenyuh memperhatikan buah hatiku ini tertidur pulas dengan wajah tenang tanpa beban.
Aku berpikir. Merenungi kembali makna rumah, keluarga dan kasih sayang di dalam hidupku. Rumah selama ini bagiku hanya sebagai tempat tinggal. Tidak lebih.
Perlahan pelupuk mataku menghangat, bulir-bulir air mata mulai menyesak ingin keluar dari dalam bola mataku. Mungkin hidupku tidak pernah bermandikan kasih sayang, tapi bukan berarti Permata akan mengalami hal yang sama. Dia harus mendapatkan kasih sayang dan ketulusan dari orang tuanya, yaitu aku. Sesak menghimpit pernafasanku, air mata tak lagi dapat kubendung. Berbalut cahaya lampu jalan, aku tersadar, bahwa selama ini aku telah abai terhadap Permata.
“Maafkan, Ibu, Nak.” Aku mencium kening Permata yang masih tertidur. Terjejak airmataku yang menetes disana. Lalu kutimang pelan buah hatiku itu.
***
Sekelebat kisah masa kecilku perlahan-lahan mencuat kembali ke permukaan. Kisah Ibu, sama sepertiku. Dia melahirkanku tanpa Ayah. Dia berjuang sendirian tanpa keluarga yang enggan mengakui keberadaannya. Sehingga aku tidak benar-benar merasakan kehadirannya saat itu, karena Ibu yang sibuk bekerja.
Tapi setelah mengingatnya aku dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa selama ini yang Ibu lakukan hanyalah untuk kebahagiaanku, meski kebahagiaan dalam sudut pandang kami begitu berbeda.
Aku melihat Permata. Raut wajahnya membuatku menyadari satu hal. Aku bukannya tidak tulus memiliki Permata, aku hanya belum siap.
Dan Ibu yang pernah mengalami hal yang sama terlebih dahulu, menyadari ketidaksiapanku, sehingga dengan tulus dia merawat Permata ketika emosiku sedang meluap-luap karenanya. Mungkin Ibu juga tidak ingin aku melakukan hal yang sama sepertinya.
Ibu. Rumah. Keluarga. Ketiga kata-kata itu terus mengiang-ngiang dalam otakku.
Apa sebaiknya aku pulang? Tapi dimana harga diriku nanti? Aku malu bila kembali bertemu Ibu.
Aliya, seburuk-buruknya sikapmu, Ibu tetap akan menerimamu di sini. Di rumah kita. Jadi pulanglah, Nak. Kasian Permata kedinginan oleh udara malam.
Aku seakan-akan mendengar suara lembut Ibu menyuruhku untuk pulang, dan tanpa dikomandoi oleh apapun, kakiku melangkah sendiri. Kembali kepada jejak-jejak yang tadi aku lewati.
“Ibu, maafkan aku. Aku akan pulang saat ini…”
:: Tulisan duet bersama @Bellazoditama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar