Senin, 20 Februari 2012

Hari Ini, Dan Seterusnya Akan Tetap Sama.

Mataku mengerjap, kilatan-kilatan cahaya lampu kamera membanjiri diriku yang berdiri di sampingmu. Senyum terkembang di wajah manismu, pekat sekali manis yang bibirmu hadirkan, saat terasa oleh jiwa saat melihatnya.

Hari ini adalah satu hari yang tidak biasa bagimu. Saat ketika kamu sekali lagi menuntaskan satu kewajibanmu, dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan berikutnya.

"Selamat ya, Di." Begitu selalu orang-orang ucapkan kepadamu seraya menggenggam erat jabatan tanganmu. Dan selalu pun kamu tersenyum lebar seraya menjawab ucapan selamat itu dengan ucapan "Terima Kasih" yang kau ucapkan hingga-mungkin-kamu bosan.

Kamu, sahabatku. Hari ini menjadisalah satu momen indah yang kumiliki. Hari ketika almamatermu mengucapkan selamat lulus kepadamu. Ketika toga dengan gagah kamu kenakan.

"Selamat lulus yah, Diara." Kembali aku ucapkan kata-kata yang terasa membosankan itu. "Akhirnya satu mimpimu kembali tercapai," lanjutku.

Diara mengarahkan tubuhnya ke arahku. Tatapannya lurus kepadaku, kedua bola matamu yang bulat berbinar menantang kedua mataku. "Terima kasih, Ram," ucapnya datar.

Kupandangi matanya, kini terlihat binarnya terlihat melemah. "Ada apa? Kenapa murung?" Perlahan Diara mengajakku menjauh dari hiruk pikuk keramaian. Meninggalkan bising dan kilatan kamera yang diarahkan kepadanya sejak tadi.

"Kamu tahu, apa-apa saja impianku, Ram?" Diara bertanya dengan nada lirih kepadaku.

Aku tersenyum kecil, kedua tanganku menepuk pelan kedua bahunya. Kuarahkan pandanganku kepadanya, mencoba menelusupi isi pikirannya lewat pandangan yang menghujam. "Tidak ada yang terlewat olehku tentang kamu." Suaraku terdengar pelan namun menghujam. Kulihat matanya sedikit membasah. Kusampirkan sapu tangan, yang selalu kubawa di saku celanaku, ke kedua matanya. Menyeka bulir-bulir yang teruntai dari sana. "Setelah ini kamu akan mengejar mimpimu berikutnya, melanjutkan studi berikutnya."

Diara mengangguk pelan, kepalanya masih menunduk menghindari tatapanku. "Kamu tahu?"

"Tadi udah kukatakan, kan? Tak ada yang terlewatkan olehku tentangmu." Suaraku masih terdengar pelan. "Setelah ini kamu akan ke Swiss, bukan? Kamu dapat beasiswa disana?"

"Iya."

"Lalu? Apa yang kamu ragukan?"

"Kamu," ucapnya pelan. Kini tangisannya sudah mereda. Hanya terdengar helaan nafas pelan darinya saat mengatur emosi.

Kudekatkan bahunya kepadaku, lalu kupeluk dekap dirinya. Kuusap lembut ujung kepalanya yang sudah tak memakai topi lagi. "Jangan khawatir. Tak akan ada yang berubah selama kamu disana nanti. Setelah empat tahun nanti pun, kita masih akan seperti ini. Kamu masih sahabatku, dan juga kekasihku."

Diara mengencangkan pelukannya. Perlahan kemejaku menghangat, saat butir-butir air mata menghujan dari pelupuk matanya. Membasahi bulu matanya yang lentik dan melunturkan sedikit make up yang dikenakannya.

Kuusapkan kembali sapu tanganku. Lalu kegenggam tangannya erat saat aku dan Diara kembali ke arah keramaian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar