Senin, 13 Februari 2012

Melepasmu (Takkan) Semudah Itu

Senja kelima belas tanpamu. Tak ada gurat jingga, juga merpati yang pulang ke kandangnya. Hanya pelangi yang menjelma dari rinai kecil meniti setiap titik di pipi. Bukan luka, bukan pula derita. Ini tentang bahagia.

“Besok aku berangkat. Kamu jaga diri baik-baik ya,” katamu saat itu padaku, datar.

“Pergilah! Aku tak akan mencegahmu. Pintu ini selalu terbuka untukmu,” jawabku saat itu.

Ah! Kamu memang paling bisa menenangkan gemuruh dadaku. Bahkan aku sendiri tak bisa mendengar detak jantungku yang berpacu dengan kecupanmu di keningku. Hanya dengan begitu aku bisa membuat ringan langkahmu. Entah berlalu selamanya ataukah hanya sementara.

:: Tulisan kolaborasi bersama @Momo_DM

Aku masih termangu di depan pintu, mengamati bekas jejakmu saat meninggalkanku. Meski aku tak tahu pasti apa alasanmu, tapi aku yakin hatiku tak pernah salah menilaimu. Kamu pasti akan kembali untukku; harapku.

***

Waktu terus berlalu, beribu-ribu senja sudah kulewati. Namun, tak jua kamu datang kehadapanku. Aku masih duduk manis di depan pintu. Menanti senyummu yang terkembang saat menginjakkan kaki kembali disini. Tempat yang kita sebut sebagai rumah.

Aku masih betah termangu di depan pintu. Berharap jejakmu kembali mengarah ke tempat aku berpijak ini. Kutekuri beberapa lembar kertas usang darimu. Sudah berbulan-bulan hari kujalani untuk membaca surat yang sama. Surat terakhir darimu yang mengabarkan bahwa kamu baik-baik saja, disana. Kota yang selalu terjaga dalam impian kita.

“Kamu masih nunggu dia, Nak?” terdengar suara Ibu di belakangku. Laksana jarum tipis yang menghujam kulit. Terasa perih yang menyengat pori-poriku. Aku mengerenyit pelan, mengigit bibir bawahku dengan rasa tertahan.

“Iya, Bu. Aku percaya dia akan pulang. Menjemput aku,” ucapku lirih. Bibirku gemetar, seolah menanggung ragu yang tertahan. Berharap itu tak terjadi, setengah berdoa, kekasihku itu akan datang untuk menjemputku. Seperti janjinya dulu.

“Nanti, kalau aku sudah sukses disana. Aku akan pulang buat menjemputmu.”

Teringat jelas dalam pikiranku kata-katamu dulu. Yang mampu tenangkan batinku yang meragu akan keputusanmu. Bukan. Bukan karena kamu menjadi jauh dariku. Namun cemas dan ragu atas kelanjutan hubungan kita nanti.

“Ga usah cemas. Aku bakal baik-baik aja disana. Dan nggak bakal macam-macam kok.”

Perlahan rasa takutku kembali membesar. Sebuah perasaan kehilangan yang wajar untuk dicemaskan. Aku takut kehilanganmu. Aku tak kuat membayangkan kerinduan ini tak berpulang ke hatimu.

***

Senja masih terlihat sama, dengan semburat jingga yang mewarnai ruas-ruas awan. Menyinari bumi yang sebentar lagi berganti warna. Sesaat lagi, matahari akan ditelan oleh langit malam.

Aku terduduk di beranda rumah. Kuperhatikan buku-buku awan yang beriringan dan berarak pelan ke arah timur. Kuhirup nafasku pelan, meredakan ledakan emosi yang mengguncang hatiku. Kunikmati segarnya udara yang memilin lembut di sekitarku. Kutangkap dan kualirkan kedalam paru-paru. Menentramkan nadi yang sempat menegang.

Kuremas kencang kertas surat yang kugenggam. Surat yang lama kutunggu. Surat darimu. Surat yang kunantikan datangnya kembali. Berharap senyum yang akan kamu berikan melalui surat tersebut, yang mengatakan kamu merindukanku, yang memberi kabar kamu akan secepatnya menjemputku.

Tangis tak dapat terbendung. Disaksikan oleh senja yang memerah ironi. Hujan membasahi tanah hatiku. Deras. Begitu deras. Seperti badai yang merontokkan setiap ketegaran dalam diriku. Seperti hari itu, ketika senja yang menjadi saksi kepergianmu. Dan kini, senja pula yang benar-benar mengantarkanmu pergi seutuhnya dalam hatiku.

Kuremas semakin keras suratmu yang tak lagi kuperlukan. Rangkaian kata yang kamu ucapkan begitu sederhana, namun sanggup memecahkan isi hatiku. Susunan kata yang begitu mudah untuk dijawab, oleh orang lain selain diriku.

Hai, apa kabar? Aku harap kamu baik-baik saja. Sudah berapa lama aku tidak mengirimkan surat kepadamu?

Oh ya, aku minta maaf. Aku tidak dapat memenuhi janjiku padamu. Aku telah jatuh cinta dengan seseorang lainnya, dan beberapa minggu lagi kami akan menikah.

Aku sangat-sangat minta maaf padamu.


Menunggu selalu tidak menyenangkan, aku tahu itu sejak awal. Kupikir dengan menunggumu, aku akan mendapatkan jawaban yang membahagiakanku. Namun ternyata tidak. Penantianku berjalan sia-sia. Ingin kumelupakanmu. Ingin kulepaskan dirimu, berharap bayangmu tidak terlalu lama menghinggapi diriku. Ingin kulakukan itu, andai saja semua itu mudah dilakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar