Terbayang kenangan tentangmu. Saat kita bertemu, beberapa tahun yang lalu. Di bawah senja, menghadap ke arah matahari yang mulai tenggelam, dan bermandikan cahaya jingga. Aku dan kamu bertemu dengan cara yang sangat tidak sengaja, dengan perkenalan yang sangat biasa. Tak ada yang spesial, awalannya. Namun serupa embrio yang terus tumbuh dan membesar seiring berjalannya waktu. Hadirnya dirimu mampu mengisi kosong yang mengukungku. Seperti ada celah yang terisi dalam ceruk jiwa, yang membuat diriku menjadi lebih kuat.
Kamu, dengan senyummu yang mampu melelehkan keegoisanku, kini berada di depanku. Kubelai lembut rahangmu yang tegas, dengan sedikit bulu-bulu halus yang tumbuh di sana. Kupandangi dirimu yang terbaring dihadapanku. Mencintaimu membuatku ingin memilikimu seutuhnya . Tidak untuk yang lain. Aku tersenyum puas.
“Aku sayang banget sama kamu, Vit,” ucapku lirih pada Vito yang tak bergerak.
Seketika teringat perkataanmu dahulu kepadaku, “Sayangku itu cuma buat kamu.” Hal yang selalu kau ucapkan saat cemburu melanda hatiku, ketika kulihat kau dekat oleh beberapa teman wanitamu.
“Aku sayang kamu, harusnya kamu tahu itu.” Aku duduk disamping Vito. Kuusap kembali dagunya yang lancip dengan rahang tegas membingkai indah wajahnya. Kucium pelan pipinya yang lengket, tercium bau amis dari pinggir telinganya. Kupegang darah yang mengalir di sana, lalu kusesap dan kunikmati hal itu.
“Harusnya kamu tidak mencoba-coba melakukan ini dengan Vito-ku,” ucapku kepada wanita yang berada tak jauh dari tempatku dan Vito terduduk. Melihat wanita itu membuat emosiku kembali memanas.
Genggaman tanganku semakin erat. Aku menggeram kembali, “Wanita keparat!” umpatku seraya mengayunkan benda yang sejak tadi ada di tangaku, yaitu stick golf kesayangan Vito.
Satu pukulan, wanita itu masih sanggup bernafas. Ia meringis menahan sakit di bagian belakang kepalanya, “Aku wanita keparat, tapi dia mencintaiku,” sahutnya dengan senyuman sinis. Bangsat!
Aku semakin kalap, “Dia tidak pernah mencintaimu, tidak pernah!” teriakku tidak terima.
Wanita itu tertawa pelan, nyaris tanpa suara. Aku bisa melihat seringai tajamnya, “Kalau dia memang hanya mencintaimu, dia tidak akan berpaling, bukan?”
“Jalang!” aku memakinya dengan keras, lalu pukulan kedua pun melayang.
“Arrgghh!!” Ia mengerang kesakitan, tapi tidak bisa memberi perlawanan karena kedua tangannya terikat kuat.
“Dia tidak pernah mencintaimu!”
“Arrrgghh!” pukulan ketiga.
“Tidak… pernah!” pukulan keempat.
Aku terduduk di samping tubuh Vito yang mulai mengeluarkan bau amis, memandangi wanita jalang itu terbaring tidak berdaya sambil mengatur nafasku yang tidak beraturan.
Kini tidak ada lagi senyuman sinis, tidak ada lagi seringai dan kata-katanya yang tajam. Semuanya lenyap. Pikiranku kosong. “Aaaaa...,” teriakku menahan kegilaan yang sebentar lagi menyapa pikiranku. Kurengguk rambutku sendiri dan kututup telingaku erat. Aku diam.
Berganti dengan keheningan yang senyap.
Tapi ini semua belum selesai, selama masih ada detak jantung di ruangan ini. Maka aku meraih silet di atas meja, lalu membiarkan ia menari di atas nadiku. Menghentikan aliran darahnya, memecah sunyi.
Lalu semuanya pun menjadi gelap.
Aku pastikan, mereka tidak akan pernah bahagia. Di alam baka sekalipun.
Maka aku memutuskan menyusul langkah mereka, menggenapi untaian kisah kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar