Senin, 30 April 2012

Kumis Pak Raden

Latihan drama sudah selesai. Raisa berjalan menuju tas coklat miliknya, dan mengeluarkan handuk kecil untuk menyeka peluh yang merembas keluar dari pori-porinya. Sebotol air mineral dingin disorongkan Rama kepadanya. "Makasi," ucap Raisa kepada lelakinya itu. Senyum terkembang di wajah mereka berdua. 

"Nanti mau langsung pulang?" tanya Rama kepada Raisa yang sedang terduduk. Raisa mendongakkan kepalanya ke arah Rama yang berdiri di hadapannya. "Aku lagi kebagian jadwal piket, Sayang. Jadi harus beres-beresin properti dulu."

"Oh begitu, yaudah aku bantu."

Raisa-yang dibantu Rama-sudah hampir menyelesaikan tugasnya. "Ada yang ketinggalan nih," ucap Rama seraya menyerahkan properti berupa kumis palsu, seperti kumis Pak Raden. "Apa yg kamu pikirkan saat liat orang berkumis seperti ini?"

"Seorang Pak Tua yang kolot dan galak."

Rama tersenyum. "Iya juga sih. Tapi ga semuanya gitu. Kumis Pak Raden seperti ini ngajarin kita untuk tidak melihat seseorang dari luarnya aja."

"Iya, Sayang. Papaku kan berkumis seperti itu juga, tapi beliau baik hati, kan?" ujar Raisa yang disambut gelak tawa Rama.

Rabu, 11 April 2012

Ironi

"BBM mau dinaikin, dan mahasiswa pada mau demo buat nolak kenaikan harga," ucap Rico kepada Deka. "Menurut lo gimana? Anak kampus lo ikutan demo gede-gedean lusa besok?"

"Kayaknya iya, Ric. Anak-anak kampus gua aja ga ikutan demo kayak begitu. Harga mati memperjuangkan hak rakyat. Kasian mereka, kenaikan harga BBM bakal berdampak besar sama harga-harga kebutuhan pokok." Deka berucap mantap kepada sahabatnya itu. Di sebuah cafe, mereka terlibat percakapan hangat seputar isu ekonomi dan sosial yang melanda negeri ini. "Anak-anak kampus lo sendiri gimana?"

Rico menyesap minumannya, tangannya mengaduk sebentar isi gelas kacanya dengan sedotan. Terlihat titik embun di bibir gelas saat dia ingin meminum ice cappuccino langsung tanpa menggunakan sedotan. "Kayaknya ikut, dan juga gua bakal ikut demo kayaknya."

"Oh ya?" Terlihat ekspresi terkejut di wajah Deka. Dia tak menyangka sahabatnya ini ingin turut ikut dalam aksi demo.

Rico mengangguk kecil. "Rencananya sih gitu. Menurut gua sih, sebenernya harga BBM ga perlu naik. Harusnya Pemerintah bisa memperketat dan menghemat pengeluaran negara. Lalu, korupsi juga harus ditekan sedemikian rupa, agar kebocoran anggaran ga terus terjadi." Rico mulai berteori dan menganalisis masalah. Berucap seperti seorang pakar ekonomi dan politik.

Deka mengangguk pelan, mendengarkan analisis-analisis sahabatnya itu sambil meminumannya perlahan. Dia sudah begitu paham dengan karakter Deka yang memang kritis. Analisisnya yang tajam membuat sahabatnya itu menjadi salah satu murid cemerlang di masa SMA dulu.

Pembicaraan antara Rico dan Deka terhenti sesaat, sebuah dering panggilan masuk di ponsel milik Rico, membuat obrolan kedua sahabat itu terjeda.

"Siapa, Ric?" tanya Deka kepada Rico sesaat setelah Rico menutup panggilan.

"Om Rian," ucap Rico seraya mengembangkan senyuman di wajahnya.

"Lalu?"

"Iya, dia nanya ke gua, dua minggu ke depan gua sibuk apa nggak."

Deka mendengarkan dengan seksama ucapan Rico, Om Rian adalah pamannya Rico yang menjadi anggota DPR. "Terus?" tanyaku sedikit penasaran.

"Dia ngajakin gua ikut dia ke Jepang."

"Ngapain? Ikut rombongan Om Rian buat study banding kesana, kan boleh ajak keluarga," ucap Rico enteng.

"Enak yah, jalan-jalan pake uang negara dengan kedok study banding." Aku berucap nyinyir pada Rico.

"Ya begitulah, De." Rico tergelak kecil menanggapi ucapan Deka. Seolah tak ada apapun yang salah dalam percakapan tadi. Ironis.

Selasa, 10 April 2012

Karena Cinta Itu Kamu

Bertemu dengan kekasih adalah hal yang paling menyenangkan, walau tingkah pasangan tidaklah selalu menyenangkan. Namun, selalu ada ekspresi bahagia tersendiri yang terpercik di hati tatkala melihat kekasih hati ada di hadapan dan tersenyum ke arah kita, termasuk aku. Hari yang kutunggu akhirnya tiba, sudah hampir seminggu aku tak bertemu dengan Alisha. Kesibukanku menjadi salah satu panitia acara organiasasi benar-benar menghabiskan waktuku untuk menyempatkan diri bertemu dengannya.

Kakiku melangkah ringan menyusuri beranda kampus. Sambil bersiul ria aku mengarahkan langkahku ke arah parkiran motor. Segera ingin melajukannya untuk bertemu dengan Alisha Putri, kekasihku.

"Ndre, mau kemana?" Terdengar suara Anji memanggil diriku. Langkahku segera berhenti dan kubalikan badanku ke arah Anji, sahabatku. "Lo mau kemana? Sebentar lagi 'kan ada meeting. Lupa?"

Aku menepuk dahiku. "Astagah," ucapku spontan. Aku lupa, bahwa hari ini adalah meeting puncak sebelum persiapan acara minggu depan. Kepanitiaan sebuah acara organisasi yang dimana aku menjadi salah satu penanggung jawab utamanya membuatku wajib untuk selalu ikut dalam rapat evaluasi. "Yah, gimana nih, Nji. Gua udah janji ketemu sama Alisha," ucapku menyesal kepada Anji.

"Emang lo janji ketemu jam berapa?"

"Sejam lagi,dia nunggu di Kemang Timur."

"Sejam lagi? Di Kemang Timur? Deket itu mah, sebentaran juga nyampe dari sana. Lo ikut rapat sebentar deh. Laporan sama Karla."

Anji mendorongku untuk ikut ke ruang pertemuan. Aku tak bisa mengelak lagi dan aku pun dengan sedikit terpaksa masuk ke dalam ruang pertemuan.

Sudah hampir setengah jam lamanya rapat evaluasi akhir berlangsung, namun belum juga menunjukkan tanda-tanda akan segera selesai. Hatiku gelisah memikirkan Alisha yang mungkin sudah menungguku, segera kuambil ponselku dan kuketik pesan singkat kepada Alisha. Kayaknya aku telat nyampe sana, sorry. mendadak ada meeting :(

Aku mendengarkan hasil laporan dari masing-masing penanggung jawab, sesekali aku mencatat poin-poin penting yang dibutuhkan. Kemudian, tak lama giliranku untuk memberikan laporan, segera aku hanya menyebutkan poin-poin pentingnya dan kemudian aku langsung memanggil Karla, dan meminta izin kepadanya, sebagai ketua panitia untuk meninggalkan rapat.

Karla berjalan ke arahku, meninggalkan teman-teman lain yang masih asik berdiskusi. "Ada apa, Fa?" ucap Karla memanggilku dengan sebutan Nufa, nama belakangku.

"Gua izin duluan yah, soalnya gua udah janji buat ketemuan sama Alisha, dan dia udah nungguin gua sejak tadi."

"Alisha? Hemm, masih betah sama cewek manja dan sedikit arogan itu?" ucap Karla pedas. Aku mengetahui bahwa Karla tidak terlalu suka dengan sikap Alisha yang memang lebih 'berani' daripada perempuan lainnya. Alisha adalah perempuan yang 'blak-blakkan' atas apa yang dipikirkan dan diinginkannya.

"Namanya juga cinta, Kar," ucapku sedikit terkekeh. Mungkin bagi orang lain, sikap Alisha memang terlihat arogan, tapi aku menyebut sikapnya sebagai sebuah prinsip. Alisha mempunyai sikap yang jelas atas apa yang diinginkannya. Entahlah, hal itu memang penilaianku secara objektif atau hanya karena Alisha adalah kekasihku. Sehingga cinta dapat membutakan logika.

Karla tidak berkata apapun, dia hanya tersenyum kecil kepadaku. Aku menafsirkan hal ini sebagai persetujuan darinya untukku meninggalkan rapat lebih cepat. Segera aku beranjak keluar dari ruang rapat, dan menuju motor milikku. Baru saja aku akan menyalakan motor, terasa getar pesan masuk di ponselku. Alisha. 10 mnt lagi. iya atau batal. Sebuah pesan yang sangat pendek, namun padat makna. Alisha sudah menentukan sikapnya. Segera aku melajukan motorku secepat mungkin.

*

"Soriano Trattoria." Aku membaca nama restoran yang akan aku masuki. Restoran Italia ternyata, batinku saat baru menyadarinya setelah aku masuk ke dalamnya.

"Selamat siang, silahkan," ucap seorang pria bule kepadaku, saat aku baru saja melangkahkan kakiku ke dalam restoran ini. Pandanganku menjelajahi isi restoran. Mencari dimana kekasihku berada. "Ah, disana." Aku segera menghampiri Alisha yang terlihat sedang bercakap-cakap dengan seorang perempuan dan lelaki yang tidak kukenal.

"Sayang, maaf aku telat."

"Lewat sepuluh menit."

"Sorry, I'm so sorry. Aku kena macet," ucapku beralibi agar Alisha tidak terlalu marah denganku.

"No problem, but...," ucap Alisha menggantung.

“But what?”

“I think I need new haircut.”

“Salon?? Again?!” Aku berucap spontan. Bukannya kamu bilang ke aku, kalau kamu baru aja ke salon beberapa hari yang lalu? ucapku membatin.

“Iya, atau tidak sama sekali!”

Argghh... Alisha, tentu saja aku akan menjawab iya. Aku tidak bisa mengucapkan tidak kepadamu. Mungkinkah ini cinta? Jika memang iya, berarti hanya kamu yang bisa membuatku mencintaimu sedemikian rupa. "Iya udah, Ayo," ucapku menggandeng tangan Alisha saat kami keluar dari Soriano Trattoria, meninggalkan orang-orang yang masih sibuk melakukan aktifitasnya di dalam.