Senin, 06 Februari 2012

Kepada Siapa Rindu Ini Berpulang?

Aku duduk termangu. Kusesap pelan batang rokok yang sudah terbakar setengahnya. Jariku menjetikkan pelan abu yang menggantung di bibir bara. Pikiranku melayang-layang, tak jelas akan bermuara kemana.

Malam semakin larut, hembusan angin makin terasa ngilu di dada. Menembus bebat kain yang ada di leherku, menerobos tebalnya baju hangat yang menyelimutiku. Kulirik layar ponselku, disana terinformasikan sebentar lagi hari akan berganti. Sebentar lagi.

Dari beranda kamar, kuperhatikan langit yang dihiasi warna yang beragam. Indah. Bunyi-bunyi letusan menggema di udara, menciptakan percikan kembang api raksasa di layar angkasa. Sebentar lagi hari berganti, dan tahun pun juga akan kembali ke titik awal dengan lembaran baru yang siap ditempuh.

Aku mendesah pelan, merasakan sedikit sesak yang menelusup ke dalam rongga pernafasanku. Ada perasaan rindu yang tak tahu diarahkan kepada siapa. Kepada Prisa kah? Aku juga tak tahu.

Waktu telah berjalan jauh. Tiga ratus enam puluh hari sudah terlewati begitu saja, namun kenangan itu seperti membeku dan terhenti di saat seperti ini. Saat kamu dan aku melihat kembang api yang dilontarkan ke langit. Saat kuusap lembut jemari mungilmu dan kugenggam erat agar kita tak terpencar di antara sesaknya ratusan manusia yang juga menonton perayaan tahun baru.

Aku menutup mataku, mencoba merasai kembali momen itu. Memutar kembali pendulum waktu ke masa satu tahun yang lalu. Mengimajinasikan dirimu masih ada di sampingku, menggenggam jemariku. Ketika aku membuka mata, aku tersadar. Kemudian pikiranku melontarkan pertanyaan spontan yang tak mampu kujawab ; ketika kamu tak ada lagi disampingku, kepada siapa rindu ini akan berpulang?

Kuhisap kembali rokok yang hampir habis nyalanya. Menikmati nikotin yang masuk ke dalam rongga pernafasanku dan merelakskan pikiranku sejenak. Ya, hanya sejenak, lalu semua akan kembali seperti semula. Aku dengan pikiranku yang selalu tentangmu. Entah sampai kapan. Mungkin hanya waktu yang bisa menngakhirinya, menunggu hari tempat hatiku akan berpulang ke rumah yang baru. Karena aku yakin, setiap hati mempunyai rumah tempat berpulangnya masing-masing. Hanya saja untuk menemukan rumah yang benar-benar tepat memerlukan waktu dan luka yang lebih banyak. Bukankah seseorang harus merasakan bagaimana luka dan sakit agar bisa mengetahui cara agar tidak kembali terluka?

Pikiranku masih mengembara bebas, mengolah kembali pikiran-pikiran spontan yang berlarian di dalam otakku. Ya, kini aku tahu bagaimana cara agar tidak lagi terluka. Namun biarkan kali ini, sejenak aku mengiris kembali luka itu dengan cara mengenangmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar