Kamis, 27 November 2014

Wake Me Up When September Ends

Aku memegang tangan kekasihku. Kami duduk di sebuah ruangan yang penuh dengan kaca. Begitu ada banyak kami di dalam ruangan ini, sehingga kami tak merasa kesepian.

“Tahukah kamu hal yang paling menyedihkan?” Aku mendongakkan kepala menatap sepasang mata kekasihku yang basah. “Sebuah perpisahan,” ucapnya lagi.

Tangannya memegang erat lenganku. Aku menepuknya pelan, lalu tersenyum. “Setidaknya tidak semenyedihkan perpisahan yang diam-diam. Perpisahan tanpa ada perayaan, tanpa ada perkataan.”

“Terkadang, aku ingin menggugat keadaan.” Kekasihku kembali berkata. Kulihat dia menggigit bagian bawah bibirnya yang sering kukecup. “Kenapa harus kamu, kenapa bukan orang lain?”

“Karena hanya aku yang bisa, Sayang.” Kubelai lembut helai rambutnya yang kekuningan, kusampirkan di daun telinganya yang selalu kubisiki kata cinta. Aku mendekatkan wajahku dan membisikkan kembali kalimat itu. “…sampai kapan pun. Bahkan jika nanti, ketika aku kembali, kau sudah menjalani kehidupanmu selama kebersamaan kita, dan kamu tak secantik saat ini.”

“Sudah waktunya,” sela seorang berpakaian perawat yang masuk diam-diam dari pintu yang berada di belakangku.

Aku bangkit dan bersiap, namun genggaman kekasihku begitu kuat. Isakan tangisnya perlahan terdengar lebih keras. Siapa pun dia, termasuk kekasihku, tidak ada yang pernah siap menghadapi perpisahan dengan orang dicintainya.

Aku tak tahu kapan lagi akan bertemu Arsailina. “Tunggu sebentar,” ucapku kepada perawat yang sudah berdiri beberapa langkah di depanku.

“Kami tunggu di depan,” ucapnya singkat tak berbasa-basi.

“Arsa,” bisikku kepadanya. Kupegang bahunya yang gemetar dan kupeluk tubuhnya yang sudah khatam kujamahi. “Jika nanti aku kembali, aku akan meminta kepada mereka untuk membangunkanku di bulan September. Agar nanti aku bisa merayakan ulang tahunmu yang entah ke berapa.” Sekali lagi kudaratkan sebuah kecupan untuknya di ubun-ubun kepalanya.

“Berjanjilah,” ucapnya lirih.

“Ya.” Kulepaskan pelukanku dan beranjak menuju pintu. Di sana perawat tadi sudah menungguku.

***

Arsailina berdiri memandangi Zei yang berjalan memunggunginya. Zei adalah seorang sebagai agen rahasia. Arsailina sudah terbiasa melihat punggung suaminya ketika berangkat menjalani misinya, namun kali ini punggung itu terlihat begitu jauh. Arsailina mengangkat lengannya, mencoba menggapai punggung semakin menjauh, ke tempat yang tak akan pernah bisa dia gapai.


Di tangannya digenggam sebuah surat dari sebuah organisasi rahasia milik pemerintah yang menyatakan suaminya menjadi salah satu dari beberapa orang yang akan ‘ditidurkan’

.
*Dikembangkan dari fiksimini Ahmad Abdul Mu'izzWAKE ME UP WHEN SEPTEMBER ENDS. Aku hanya tak ingin bertambah tua.

Silsilah Luka

Sumber: http://arzuhan.deviantart.com/art/Darkness-100010629
Rumi berdiri menatap cermin yang memantulkan separuh bayang tubuhnya. Dari sebelah kanan, cahaya lampu jalanan masuk sebagian melalui celah jendela yang tak tertutup rapat. Tak banyak cahaya yang dapat masuk ke dalam kamar yang lampunya entah telah mati sejak kapan.

Dia tersenyum menatap wajahnya sendiri, lalu kadang tertawa kecil. Dia mengambil lipstik berwarna semerah darah lalu dioleskan ke bibirnya secara serampangan. Kini, seputar bibir, mulut dan pipinya berwarna merah, dengan sedikit noda merah lainnya yang sudah ada di sana sejak tadi.

“Huahahaha.” Rumi tertawa terbahak saat melihat hasil riasannya sendiri.

Diletakannya lipstik tersebut dan kemudian dia mengambil bedak yang berada tak jauh dari tempat dia meletakkan lipstik. Dipoleskannya pelan-pelan ke pipinya. Tangannya gemetar saat melakukan hal tersebut. Jemarinya yang kemerahan sudah mulai terasa lengket dan sulit untuk digerak-gerakkan. Dengan telaten Rumi merias wajahnya sendiri dengan penerangan seadanya.

Peralatan di meja rias tersebut cukup lengkap, dan Rumi terus mencoba satu per satu dengan cara yang salah. Dirinya yang selama ini tak pernah belajar dan diajarkan cara merias wajah. Jemarinya tak fasih mengenal pelbagai peralatan kecantikan yang ada di hadapannya.

Tidak ada yang abadi di dunia ini, termasuk kebohongan. Karena di balik hitam kau akan menemukan terang.

“Aku cantik kan, Sayang?” ucap Rumi kepada lelaki yang tertidur di ranjang di belakangnya. Dia terlihat pulas berbaring tanpa busana.

Rumi bangkit dan berjalan ke arah ranjang, dan duduk di tepinya. Tangannya membelai lembut rambut kekasihnya yang kaku dan berbau amis.

“Cantikan mana, Sayang? Aku pakai make up atau aku yang tidak pakai make up?”

Jemari Rumi menyusuri lekuk wajah kekasihnya. Dia mendekatkan wajah dan mencium keningnya.

“Katamu, tanpa make up pun aku sudah cantik. Katamu, ‘tak perlu kamu berias, kamu sudah cantik. Aku cinta kamu.’”

Rumi bangkit dari tepi ranjang, lalu berjalan ke tepi ranjang yang lainnya. Saat melewati meja rias dia mengambil sebuah benda yang ada di atasnya.


“Tapi, kenapa kamu memilih dia!!” pekik Rumi. “Kalau aku lebih cantik, kamu mencintaiku, kenapa kamu berkencan dengannya!!” Dihantamkannya berkali-kali palu yang digenggamnya ke batok kepala perempuan yang tubuhnya telanjang. Dia tergolek di bawah ranjang. Paras wajahnya yang cantik sudah penuh dengan darah yang mengalir dari celah rongga kepalanya.

Rabu, 26 November 2014

Doa Untuk Kekasihku

Aku ingin menjadi cahaya, agar kamu tak tersesat, dan langkahmu aman tanpa takut tersandung, terjatuh atau bahkan terjerembab. Dulu katamu, hal yang paling mengerikan ialah terjebak dalam kegelapan, lalu kita tak tahu ke mana kaki melangkah, apa saja yang sudah kaki kita tapaki, dan tempat apa saja yang sudah kita singgahi.

Kekasih, aku ingin menjadi penerang bagimu, agar langkahmu lebih waspada dan kakimu tak terluka saat menapaki jalan kehidupan yang penuh dengan duri.

Suatu hari aku berdoa kepada Tuhan, Jadikan aku cahaya, agar kekasihku tak lagi berada di dalam kegelapan. Matanya telah menjadi cahaya bagiku, dan kini izinkan aku menjadi cahaya bagi matanya.

“Maaf selalu merepotkanmu,” ucap Gia suatu hari kepadaku.

Aku tersenyum dan mengetukkan jariku sebanyak dua kali ke telapak tangannya. Sesudah itu kami kembali berjalan tanpa peduli tatapan orang lain yang melihat kami. Sepanjang jalan aku menautkan jemariku di sela-sela jemarinya. Mengusir hawa dingin yang diam-diam memeluk sekujur tubuh kita masing-masing.

“Aku memang takut gelap, tapi setidaknya jika bersamamu, aku tidak sendirian saat menghadapinya.” Aku mendengar jelas kata-kata yang kamu ucapkan kepadaku di sore terakhir itu. Lagi-lagi aku tersenyum saat mendengarnya, lalu kuraba pipimu dan kusap pelan.

Sore itu adalah sore terakhirku bersamamu. Setelah sore itu, Tuhan memanggilku dan tidak memperpanjang kontrak roh yang menghuni tubuhku.

Entah selama beberapa hari atau beberapa minggu atau beberapa tahun aku hanyut dalam kegelapaan. Aku tidak bisa menghitung dengan pasti waktu yang sudah terlewati, sebab waktu adalah perihal yang paling tidak pernah dapat dipastikan dengan baik. Selama itu aku tak melihat apa-apa. Gelap. Akhirnya aku paham bagaimana rasanya menjadi kamu.

Kini, setelah sekian lama, aku rindu kekasihku. Tuhan, aku rindu kekasihku, izinkan aku untuk dapat melihatnya kembali. Untuk kedua kalinya aku berdoa.

Kesokan harinya, Tuhan menjawab kedua doaku secara bersamaan. Malam itu aku melihat kekasihku, Gia, baru pulang entah dari mana. Dia terlihat jauh lebih cantik dan juga dewasa. Aku melihat sekelilingku, dan mendapati diriku berada di ruang keluarga rumah kekasihku tersebut.

Tuhan mengabulkan doaku.  Aku kembali melihat kekasihku dengan cukup jelas, dan juga menjadi cahaya.


“Pa, itu chandelier kapan dibelinya? Kok aku baru lihat?” tanya Gia saat melihatku. Aku memekik girang, tubuhku bergoyang. Akhirnya kekasihku dapat melihat cahaya.

Selasa, 25 November 2014

Menunggu

Seorang lelaki muda duduk di sebuah bangku taman. Sejak tadi dia sibuk melihat pergelangan tangannya yang dilingkari oleh jam. Sudah hampir 1 jam dia menunggu kekasihnya yang tak kunjung datang.

Malam ini adalah malam minggu, dan seperti layaknya pasangan kekasih pada umumnya, lelaki muda itu dan kekasihnya sudah mengatur janji untuk bertemu di taman ini.

Lelaki muda itu berdiri, dan berjalan mondar mandir mengitari bangku taman, kekasihnya tak kunjung datang. Bayang-bayang batal berkencan sudah mampir dibenaknya dan membuatnya semakin gelisah.

“Belum juga datang, Roy?” tanya seorang perempuan dengan make up tebal dengan sanggul tebal di belakang kepalanya.

Roy mendongak ke arah seberang. “Belum, Madame Marrie,” ucapnya lemah.

“Mungkin di ruang depan masih banyak tamu, dan tuan besar belum atau tidak pergi berkencan dengan nyonya besar malam ini.”

“Iya mungkin.”

“Kamu tidak ingin melihatnya?” tanya Madame Marrie.

“Ingin, tapi....” Roy mengerling ke arah samping.

Madame Marrie mengangguk paham saat melihat Tuan Leo sedang tertidur. Roy tidak bisa lewat, jika itu dilakukan, maka Tuan Roy yang pemarah akan terbangun. Ketika hal itu terjadi, hal yang tidak mengenakkan akan terjadi.

“Baiklah, biar aku saja yang melihatnya,” ucap Madame Marrie meninggalkan bingkai lukisannya dan berpindah dari satu bingkai ke bingkai lainnya hingga akhirnya dia sampai di beberapa bingkai foto yang dapat melihat ke ruang tengah.

“Lukisan yang bagus. Cantik,” gumam seorang lelaki saat memperhatikan dengan detail tubuh kekasih Roy tersebut. “Siapa dia?”


“Kekasih almarhum anakku,” ucap tuan besar kepada lelaki yang merupakan temannya sesama kolektor lukisan.

Senin, 24 November 2014

Tetanggaku Perempuan yang Paling Cantik


Tetanggaku adalah perempuan yang paling cantik. Meski dia jarang berbicara, dan tak pernah tersenyum, aku akan selalu senang memandanginya yang terlihat begitu menarik. Jika sedang tak ada pekerjaan, aku akan betah duduk berlama-lama di beranda rumahku, hanya untuk sekedar memandangi wajahnya.

Matanya. Sepasang bola matanya ialah yang membuatku rela menghamburkan waktu yang katanya begitu berharga. Aku selalu merasa senang dan tenang tiap memperhatikan sepasang mata tetanggaku itu, walau aku tahu ada begitu banyak duka yang merumah di sana.

Tetanggaku adalah perempuan yang memiliki mata paling cantik di seantero komplek perumahanku. Matanya adalah laut, tempat di mana segala kesedihan bermuara. Setiap ada orang yang memandangi matanya, maka segala kesedihannya akan terhisap ke sana. Sebab itu, aku selalu senang saat memandangi mata tetanggaku yang keruh, di sana, banyak pasang airmata yang merumah dan bermuara.

Konon katanya, tetanggaku adalah putri seorang nelayan. Setiap hari dia selalu memandangi perairan yang luas sehingga matanya yang awalnya berwarna hitam, berubah warna menjadi kebiru-biruan. Dulu, tetanggaku itu orang periang, selalu tersenyum dan boros dalam mengumbar tawa. Sepasang bibirnya tak pernah terkatup dan tertutup. Aku mendengar hal ini dari mamang penjual rokok di warung pinggir jalan yang ada di depan komplek.

“Lalu mengapa saat ini dia menjadi pemurung dan pendiam? Dan sepertinya warna bola matanya cokelat keruh.”

***

Tetanggaku adalah perempuan paling cantik. Tak ada yang menyangkal pengakuan tersebut. Dari pria muda sepertiku, hingga mamang penjual rokok yang rambutnya tak lagi ada yang berwarna hitam pun sepakat, bahwa tak ada yang menandingi kecantikan tetanggaku tersebut.
Malam ini, aku duduk asik di beranda dengan secangkir kopi dan buku kumpulan cerita karya Agus Noor yang baru saja kubeli sore tadi. Aku menunggu tetanggaku pulang.

Benar saja, ketika jarum pendek di jam tanganku menunjukkan pukul 11, tetanggaku pulang. Dia keluar dari mobil mewah yang mungkin baru bisa kubeli jika aku menabung selama 20 puluh tahun dengan gaji sesuai UMP di kota ini, atau jika aku jadi anggota dewan seperti pemilik mobil mewah tersebut.

Tetanggaku yang cantik keluar dari mobil tersebut. Malam ini dia memakai pakaian dengan punggung terbuka, belahan dada begitu rendah dan panjangnya hanya mampu menutup setengah bagian pahanya yang mulus. Aku tak tahu nama jeni pakaiannya apa, tapi yang aku tahu tetanggaku terlihat tambah cantik karenanya.

Tak lama, mobil mewah tersebut pergi meninggalkan tetanggaku yang terlihat mengumbar tersenyum palsu.  Dia duduk di beranda rumahnya, lalu menangis seperti biasa.


“Konon katanya dia terpaksa menjadi simpanan pejabat karena ayahnya mati di tengah laut karena tersapu badai saat sedang mencari ikan, dan keluarga terlilit hutang banyak. Sejak saat itu, perlahan, kedua matanya berubah warna, dari kebiruan menjadi kecokelatan.  Keruh, seperti air laut di tepi pantai atau seember airmata yang bercampur dengan make up yang luntur di wajah.”

Jodoh

sumber: http://hanyabloghanna.blogspot.com
Di sebuah persimpangan, seorang tua menemukan jodohnya. Langkahnya tertatih menyambangi perempuan yang begitu tabah menunggunya.

Cinta, ialah perkara paling bodoh yang digilai oleh banyak orang, termasuk perempuan yang sedang menunggu ini. Dia duduk di tepi jalan tempat orang-orang mati berlalu lalang, seorang diri.

Perempuan itu di sana, menunggu, terus menunggu jodohnya tiba. Seorang diri dengan puluhan pasang airmata.

"Maaf sudah menunggu lama. Terima kasih sudah menungguku," lelaki itu berkata dengan bibir yang gemetar, tak beda dengan lututnya.

Perempuan itu tersenyum, "Tak apa. Kamu terlihat lelah. Sejauh apa perjalananmu?" tanyanya sembari mengelus lengan jodohnya tersebut.

"Tak begitu jauh, hanya 7 kali putaran reinkarnasi."

Kamis, 13 November 2014

Air Manusia

Irwan tersenyum lega saat melihat bidan keluar dari dalam ruang bersalin. Bidan tersebut menggendong seorang bayi yang kulitnya masih putih kemerahan. Bayi itu tampak cantik dan kulitnya bersih.

Bayi terlahir dalam kondisi suci, dan bersih; seperti air. Air yang mengalir dari mata air selalu dalam kondisi murni dan bersih, pun begitu dengan manusia yang lahir dari mata air di rahim ibunya. Namun waktu dan proses kehidupan akan selalu dapat mencemari kemurnian tersebut.

Air mengalir dari bukit, lalu turun melalui anak-anak sungai, kemudian berjumpa dengan manusia, hewan dan tumbuhan. Lalu air tersebut bergaul dengan mereka dan tak lagi murni. Akan ada sampah yang mencemari air tersebut.

Pun juga dengan manusia. Kala bayi itu beranjak dewasa atau didewasakan waktu, ia akan bertemu dengan manusia lainnya. Kemudian kesedihan, duka, kesalahan, dosa dan dusta menjadi sampah yang senantiasa mengotori hati manusia; mencemari air yang tadinya bersih dan murni.

Seperti air, tiap manusia akan memiliki tempat perhentian terakhir. Setiap orang akan kembali kepada-Nya dalam keadaan yang tidak lagi suci, seperti air yang kembali ke laut; pulang ke tempat peristrahatan terakhirnya.

Irwan terdiam memandangi putri pertamanya, dan menggendong dengan tulus, dan berjanji agar kehidupan tak terlalu mencemari putrinya yang bersih seperti air ini.

Sabtu, 08 November 2014

Jangan Pergi

Jangan pergi
Tetaplah di sini

Bawa aku jika kau tetap ingin pergi
Walau katamu, kau berniat untuk kembali

Isi kepalamu ialah yang terkeras yang pernah kutemui
Namun pelukmu yang lembut selalu dapat meredam nyeri

Segala duka, dan pasang airmata menjadi tak berarti
Saat lingkar lenganmu memenuhi lengang tubuhku
Dan kita akan berbagi cerita dan tawa
Hingga pagi dan kita terbangun dalam keadaan saling memeluk

Jangan pergi
Duka ini tak mampu kutanggung sendiri

Aku tak butuh fotomu
Sebab, garis rahangmu ialah yang paling mudah kuingat
Dan dadamu, ialah tempat peristirahatan terbaik
Di sana, lelahku kehilangan upaya tuk lemahkanku

Jangan pergi
Aku tau, kau tak berniat kembali