Sebab kita tak
tahu,apa yang akan ditawarkan saat kita memulai pagi. Bisa keceriaan, tak
jarang kekecewaan.
Segelas teh hangat dan setangkup roti dilapisi selai
kacang selalu menjadi pengawal pagi yang menyenangkan. Terpaan mentari yang
hangat ditambah kicauan burung pipit di halaman kosan menambah semangat untuk
memulai aktifitas pagi ini. Pagi ini suasana terasa sangat ceria dan
menyenangkan bagiku. Apakah merupakan pertanda akan terjadi hal yang menyenangkan
di hari ini? Semoga saja memang seperti itu.
Dering panggilan telepon berbunyi. "Hallo, Di?
Oh iya jadi kok, sore nanti kita jadi ke bookfair. Ketemu di kampus, gedung A
yah. Depan perpustakaan aja seperti biasa. Oke," ucapku terakhir seraya
menutup telepon masuk dari Diara
Hampir saja aku lupa telah berjanji menemani Diara
pergi ke Jakarta Bookfair nanti sore. Untung saja dia mengingatkanku yang
pelupa ini. Segera kutandaskan sarapanku dan berangkat menuju kampus.
"Semoga hari ini berjalan menyenangkan, Tuhan," ucapku berdoa sebelum
keluar dari dalam kamar kosan.
"Rama, paper gimana?" tanya Rudi saat aku
baru akan memasuki gedung fakultas. Teman sekelompokku di mata kuliah
perpajakan itu langsung memberondongku dengan pertanyaan mengenai perkembangan
paper yang sedang dikerjakan bersama.
"Wah iya yah. Waduh maaf, Rud. Beberapa hari
terakhir ini gua banyak kerjaan lain, dan gua juga lupa kalau bagian paper gua
belum selesai," ucapku seraya menepuk dahi. Penyakit lupa yang kuderita
seperti semakin menjadi-jadi.
Kulihat ekspresi wajah Rudi yang terlihat kecewa.
"Yah gimana dah lo, kan udah gue sms kalo kita mau selesain semuanya hari
ini, biar besok tinggal print."
"Waduh maaf banget. Gua beneran lupa,"
ucapku pada Rudi yang memasang ekspresi kecewa, "gini deh Rud. Hari ini
gua kerjain materinya, nanti malem gua kirim lewat gmail. Gimana?" ujarku
menawarkan solusi.
"Jam berapa lo mau kirim? Oke gue tungguin.
Jangan sampai nggak dikirim ya," ujar Rudi dengan nada mengingatkan.
Aku mengangguk seraya mengacungkan jempol pada Rudi.
"Yaudah gua duluan ya, ada jam kuliah nih."
"Oke. Gue baru ada kuliah jam kedua
nanti," ucap Rudi sebelum kita berpisah di persimpangan gedung A dan
kantin. Aku masuk ke dalam gedung A dan Rudi belok ke kantin.
***
Sebuah pertemuan
selalu diawali dengan ketidaksengajaan.
Langit terlihat berawan gelap. Sepertinya sebentar
lagi hujan akan turun, sementara aku dan Diara baru saja akan berangkat ke
Bookfair di Senayan.
"Yah, mau hujan nih Di. Gimana?"
"Lanjut aja, Ram. Hari terakhir nih. Banyak
novel-novel yang mau gue beli. Mumpung lagi diskon banyak," ucap Diana
yang membujukku agar tetap mau menemani dan mengantarnya ke Bookfair.
"Yaudah, kita jalan sekarang. Jangan protes
kalau gua ngebut yah, biar nggak kehujanan." Terlihat Diana mengangguk,
walau wajahnta sedikit ditekuk saat aku bilang akan membawa motor dengan
kecepatan tinggi. Sahabat dekatku itu termasuk golongan orang yang takut naik
kendaraan dengab kecepatan tinggi.
Setengah jam kemudian kami sampai di bookfair.
Untung, hujan turun saat kami sudah berada di dalam gedung Istora. "Untung
aku ngebut. Kalau nggak, udah keujanan kita," ucapku kepada Diana.
"Tapi kamu bawa motornya jangan kenceng-kenceng
kayak gitu. Serem tau," kata Diana seraya menyubit perutku.
Istora sore ini ramai pengunjung. Dari
penglihatanku, hampir setiap booth dipenuhi oleh para pengunjung bookfair. Aku
dan Diana berjalan mengelilingi dan mengunjungi semua booth penerbit dan
distributor buku yang ambil bagian dalam bookfair kali ini.
"Rama, kita kesana dulu yuk. Lagi banyak novel
yang baru rilis." Aku ditarik menuju stand salah satu penerbit novel
romance. Diana melihat-lihat novel-novel yang baru diterbitkan dan
menanyakannya padaku mengenai bagus atau tidaknya isi novel tersebut. Beberapa
novel yang ditunjuk oleh Diana, ada yang sudah pernah aku baca.
Selesai memborong beberapa novel, Diana kembali
menarikku untuk mengikuti langkahnya. Saat Diana sibuk melihat-lihat koleksi
novel di sebuah booth distributor buku, aku memilih masuk ke dalam booth toko
buku bekas. “Kamu liat-liat aja dulu, aku mau kesana,” ucapku kepada Diana
hanya menjawab dengan anggukan.
Di dalam booth toko buku bekas aku melihat-lihat
beberapa koleksi novel dan puisi sastra yang sudah sulit dicari. “Mas, ada
koleksi novel-novelnya Seno Gumira Ajidarma? Atau novel-novelnya Remy Sylado?”
tanyaku pada penjaga booth.
“Oh, ada di sana, Mas,” jawab penjaga ke arah rak
buku di pojok ruangan.
“Oh, oke. Makasi,” ucapku seraya menuju rak buku
yang ditunjukkan. Di sana berdiri seorang perempuan yang juga sedang
melihat-lihat koleksi yang ada di rak novel dan puisi sastra. Kulihat,
perempuan berambut hitam kecoklatan itu sudah menggenggam buku Dunia Sukab,
Negeri Senja karya Seno Gumira Ajidarma dan buku Parijs van Java karya Remy
Sylado yang sedang kucari.
“Suka sama koleksi SGA dan Remy juga, Mbak?” ucapku
mengajak bicara. Kini aku sudah berdiri bersisian dengan perempuan berambut
hitam kecoklatan tersebut.
Perempuan itu menoleh ke arahku. “Iya, buat
ngelengkapin koleksiku di rumah,” ucapnya. Kemudian dia kembali menekuri rak
buku, mencari buku lainnya.
Aku pun mencari-cari buku lain yang belum kumiliki
namun masih ada stoknya di dalam rak. Ternyata, dari beberapa koleksi novel dan
puisi yang ada di rak ini hanya sebuah novel yang menarik perhatianku, yaitu
buku puisi Mati Mati Mati karya Seno Gumira Ajidarma. Buku itu terselip dan
tertutup oleh beberapa buku lainnya. Segera aku menuju kasir untuk melakukan
pembayaran.
Saat di kasir, aku berdiri di belakang perempuan
berambut coklat yang memborong 5 buku,
dan 3 di antaranya adalah buku-buku yang kuinginkan. Andai saja aku datang ke tempat ini lebih cepat, pasti aku yang akan
mendapatkannya, ucapku menyesal dalam hati.
“Satu ini aja, Mas?” tanya kasir kepadaku.
“Iya, Mbak, satu ini aja,” ucapku.
“Wah, ini buku puisi Mati Mati Mati karyanya SGA
yah?” Tetiba dari belakangku terdengar pekik suara perempuan. Ternyata itu
adalah suara perempuan berambut coklat tadi.
“I–Iya, Mbak,” ucapku dengan mimik wajah sedikit
bingung, “memangnya kenapa yah?” tanyaku.
“Aku mau buku itu.”
“Eh?”
“Iya, aku mau buku itu. Buku itu sudah lama aku
cari-cari, dan ternyata terlewat saat aku liat koleksi di rak tadi.”
“Maaf, Mas, antriannya penuh,” ucap petugas kasir
kepadaku.
“Oh, oke, aku bayar ini dulu yah,” ucapku kepada
perempuan berambut coklat itu dan menyerahkan uang pembayara kepada petugas
kasir.
Setelah selesai melakukan pembayaran, aku segera
berjalan ke pinggir untuk berbicara dengan perempuan berambut coklat tersebut.
“Well, ada apa?” tanyaku.
“Buku puisi itu, aku udah nyari sejak lama. Boleh
nggak kalau aku bayarin?” ucap perempuan itu kepadaku.
“Buku ini?” ucapku seraya menunjukkan buku puisi
Mati Mati Mati. “Aku juga nyari-nyari buku ini dari lama. Beruntung banget bias
nemuin buku ini disini.”
“Please,
dong. Aku bayarin yah. Mau yah?” bujuk perempuan itu kepadaku. Kupandangi paras
wajah perempuan itu. Biasa saja, tidak cantik, dan tidak juga manis, tapi
wajahnya yang oval perempuan itu terlihat sangat natural. Mimik wajahnya yang
sedang membujukku terlihat seperti wajah anak-anak yang sangat menginginkan
mainan kesukaannya.
Aku menimang-nimang buku puisi yang ada di tanganku.
“Yaudah deh, ini bukunya,” ucapku seraya menyerahkan buku tersebut. “Ga usah
dibayar, barter dengan salah satu dari buku yang sudah kamu beli aja. Gimana?”
ujarku memberikan penawaran.
Perempuan itu merubah raut wajahnya, dalam kepalanya
seperti sedang terjadi transaksi antara dirinya sendiri. “Oke, kamu mau yang
mana?” tanya perempuan itu.
Aku tersenyum simpul. “Aku mau buku Negeri Senja.”
Aku menyodorkan buku Mati Mati Mati kepada perempuan itu.
“Terima kasih–” ucapku menggantung seraya
menyodorkan jabatan tangan kepada perempuan itu setelah kuterima buku Negeri
Senja dari tangannya.
“Raisa,” ucap perempuan tersebut menerima jabatan
tanganku. “Kamu?”
“Ah, oke, makasi Raisa. Aku Rama,” ucapku
mengenalkan namaku. Kulihat, perempuan bernama Raisa itu tersenyum kecil.
Sungguh menarik.
“Aku yang harusnya bilang terima kasih ke kamu.
Makasi ya Rama.” Cara Raisa memanggil namaku membuat senyumku kembali
mengembang, begitu khas di telingaku.
“Ram, udah selesai belanjanya?” ucap Diara yang
tetiba berdiri di sampingku.
“Oh, udah kok udah. Lo sendiri udah selesai?”
“Nggak jadi, nggak ada yang bagus. Jadi gue nggak
beli apa-apa di tempat tadi. Lanjut keliling nggak?”
“Oh oke,” ucapku, “oh iya, Di. Kenalin, ini Raisa.
Berkat dia gua dapet buku ini,” ucapku memperkenalkan Raisa dan memperlihatkan
buku Dunia Senja kepada Diara.
Kulihat Diara memperhatikan Raisa dari atas ke
bawah. Seperti sedang menyelidikinya. “Raisa? Raisa yang penulis novel itu
bukan?” tanya Diara kepada Raisa.
“Iya, salam kenal. Aku Raisa,” ucap Raisa ramah
kepada Diara.
“Kamu penulis
novel?” ucapku kaget tak percaya saat mengetahui hal tersebut. “Ah maaf, aku
nggak ngenalin kamu.”
“Nggak apa-apa. Kamu bukan pembaca novel romance kekinian, ‘kan? Wajar aja kalau
kamu nggak tau,” ucap Raisa yang membuatku tidak enak kepada diriku sendiri.
Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Raisa seraya menggaruk kepalaku yang
sebenarnya tidak gatal.
“Ngg, Raisa, kita duluan yah. Sukses buat novel kamu
yang baru diterbitin minggu kemarin.”
Raisa mengembangkan senyumannya kembali seraya
melambaikan tangan saat aku dan Diara mulai berkeliling lagi. Dari kejauhan
kulihat Raisa berjalan ke arah seorang lelaki dan menggandeng tangannya. “Raisa
itu udah punya pacar?” tanyaku pada Diara. Diara hanya mengganggukkan kepalanya
tanpa bersuara. Dia asik mengupdate tweet
di ponselnya.
***
Ketika waktu
berjalan, kita tak pernah sadar, kemana arah langkah kita. Salah dan benar
hanya akan diketahui saat kaki merasakan, bahagia atau luka yang akan kita
temui.
Sesampai dirumah, segera aku membuka laptop dan
mengerjakan paper mata kuliah perpajakan yang sudah kujanjikan kepada Rudi.
Segelas kopi, dan beberapa buku rujukan menjadi temanku mengetik
berlembar-lembar halaman paper. Koneksi modem yang sedang lancar sesekali
menginterupsi pengerjaan paperku. Tanganku sering kali gatal untuk memantau timeline twitter dan mengupdate tweet sajak dari akun anonimku.
@penarihujan: Segelas kopi, dan
buku tebal dalam gelap malam menemani riuhnya tugasku malam ini. Dan sekelebat
ingatan tentangmu hadir di jeda penatku.
Sesekali juga aku mencari-cari akun milik Raisa.
Berkat kemampuanku yang seperti detektif, berhasil kutemukan akun twitter milik
Raisa. Kubaca isi timeline, ternyata Raisa pun sering mengupdate tweet berisi
sajak dan puisi. Segera aku follow akun tersebut dengan akun asli milikku.
Saat tugas paper sudah selesai kukerjakan, segera
kukirim kepada Rudi melalui gmail. Aku melirik ke jam dinding yang menggantung,
tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Berarti hampir selama 3 jam
aku menghabiskan waktu mengerjakan tugas.
Rud, udah gua
kirim di gmail yah tugasnya. Maaf kemaleman, ketikku di ponsel dan segera
mengirimkan pesan pendek itu ke nomor Rudi yang kemudian hanya dibalas dengan
jawaban ‘oke.’
Berkeliling di dalam Istora, ditambah mengerjakan
tugas dengan keadaan dikejar waktu membuatku merasa sangat lelah. Padahal jarum
jam baru menunjukkan pukul 11 malam lewat beberapa menit. Biasanya di jam-jam
seperti ini aku akan menceburkan diriku di jejaring sosial, khususnya twitter.
Saat aku akan menutup laman akun twitter, perhatianku
tersita dengan pemberitahuan di tab mention. Raissa followed you. Seketika rasa lelah dan keinginanku untuk
merebahkan badan di kasur langsung mendadak hilang. Kemudian, sepanjang malam
aku sibuk saling bermention ria dengan Raisa hingga aku terlelap tidur di depan
laptop.
Sejak saat itu, tanpa disadari, aku dan Raisa
semakin akrab dan dekat. Hampir setiap malam, walau tida setiap hari, aku
bermention ria dengannya. Tak jarang kami berbalas sajak dan syair saat malam
hampir berganti hari.
***
Ketika kedekatan
membuat sebuah kenyamanan. Rasa suka yang menjadi ibu dari perasaan cinta
biasanya akan menjadi hal yang biasa.
“Raisa,” ucapku pada Raisa yang sudah duduk di
hadapanku. Kami duduk saling berhadapan dengan meja yang membatasi jarak di
antara kita. “Jujur, setelah sekian lama kenal dan dekat denganmu. Tidak
menyukai dirimu adalah dusta bagiku.”
Raisa terdiam tak menanggapi ucapanku.
“Dengan jujur aku mengakui, sepertinya aku jatuh
hati kepadamu.”
“Jangan, Ram. Jangan jatuh hati kepadaku. Kamu sudah
salah menjatuhkan hatimu, jika aku yang menjadi tempatmu meletakkan
perasaanmu.”
“Kenapa?”
“Karena kamu jatuh cinta di saat yang salah, dan
memiliki cinta yang salah,” ucap Raisa dengan suara pelan kepadaku.
“Tidak ada cinta yang salah,” sergahku dengan nada
yang mencekat.
Raisa menundukkan kepalanya sejenak. Di tengah
keriuhan kafe, kami berdua menjadi sosok manusia yang menenggelamkan diri dalam
keheningan. Raisa menghempaskan nafas, mengeluarkan sesak yang sepertinya
menggumpal di dadanya.
“Apa alasan utama kamu bisa jatuh cinta kepadaku?”
tanyanya dengan nada yang masih pelan.
“Apakah ada alasan untuk jatuh cinta? Jika memang
ya, aku tak tahu apa alasannya itu. Aku hanyalah orang asing, yang tiba-tiba
muncul di kehidupanmu, lalu jatuh cinta kepadamu. Itu saja.”
“Kalau begitu, kamu mencintaiku di waktu yang
salah.”
“Kenapa? Karena kamu sudah memiliki kekasih? Aku
tidak peduli. Aku akan menunggu saat perpisahan kalian.”
“Pertama, aku hanya menganggapmu teman sejak awal
kita dekat. Kedua, baru minggu lalu, kekasihku melamar diriku. Dan aku akan
menikah bulan depan.”
Seketika kakiku lemas saat mendengar pernyataan
Raisa. Seolah tak ada daya lagi di dalam diriku. Kata-kata yang diucapkannya
sukses membunuh harapanku. Mematikan pengharapanku.
“Seperti ucapanmu. Awalnya kita hanyalah sepasang
orang asing yang tak pernah tahu akan dipertemukan dengan cara yang sangat
tidak sengaja dan diluar kuasa kita. Menjadi dekat karena kesukaan yang sama
terhadap suatu hal. Mungkin kita cocok dan saling melengkapi dalam beberapa
hal, tapi tidak dengan cinta,” ucap Raisa panjang lebar kepadaku yang masih
terduduk lemas. “Ketika kamu jatuh hati kepadaku, kamu tetaplah orang asing
yang tak bisa masuk ke dalam hatiku.”
“Tapi–”
“Jika kamu dapat membuat kita yang tadinya asing
menjadi dekat. Kenapa tidak dengan mengubahnya menjadi asing kembali? Senang
dapat mengenalmu. Jika memang kamu tetap berkenan menjadi temanku, datanglah ke
pesta pernikahanku,” ucap Raisa kepadaku seraya menyerah sepucuk undangan
pernikahannya. Tercetak jelas namanya dan nama kekasihnya dengan huruf berwarna
emas. “Aku harus pergi sekarang, Rama.” Raisa bangkit dari kursi dan pergi
meninggalkan diriku. Kulihat, separuh perasaanku tercecer di jalan, saat
langkah perempuan berambut hitam kecokelatan itu semakin menjauh dariku.
Ketika saatnya
tiba, kita akan sadar, bahwa luka adalah cara kita menyadari bahwa kita telah
berhasil untuk jatuh cinta.