"Brengsek!"
Kejadian itu kembali berkelebat di kepalaku. Runutan kata-kata dan makian yang kulontarkan kepada Wira kembali mengiang. Jelas sekali.
"Siapa wanita itu? Kamu selingkuh?" ucapku seraya mengambil segelas Orang Juice di meja dan menumpahkan isinya ke tubuh Wira.
"Sayang, dia siapa?" tanya wanita yang duduk di samping Wira. Lelaki itu menunduk. "Eh!! Lo siapa? Kurang ajar banget. Gue pacarnya Wira!!" maki wanita itu. Tatapan liar mengarah kepadaku.
Aku lepas kendali. Baru saja ingin kuayunkan tanganku untuk menampar wanita itu, Irfan mencegahnya. Ditahannya tanganku dan dia menggiringku keluar dari restoran. Cacian dari wanita itu terdengar jelas di kepalaku.
Mataku memanas, pun juga dadaku. Terasa begitu sesak. Tanpa komando, bulir-bulir airmata menetes tak terkendali.
Irfan berjalan di sampingku, menggenggam tanganku, menenangkanku dengan kata-kata yang tak terdengar jelas olehku. Hanya satu kalimat yang terdengar jelas olehku, "tahan, tenangkan dirimu. Jangan permalukan dirimu di depan orang banyak."
Airmata kembali menetes di pipiku kala mengingat kembali kejadian kemarin. Kepalaku terasa berat, dadaku terasa sesak, untuk bernafas pun terasa berat.
Semalam, Irfan mengantarku pulang. Aku tak ingat apapun yang dibicarakan olehnya selama di mobil saat perjalanan pulang, yang aku ingat, tahu-tahu aku sudah sampai dirumah dan langsung tidur. Semalam, pikiranku kosong, aku terguncang oleh kejadian di restoran tersebut.
Wira, lelaki yang kupercaya ternyata sama saja dengan kekasihku sebelumnya; peselingkuh. Tangisku tak juga reda jika mengingat-ingatnya lagi. Aku terlanjut mencintainya begitu dalam.
Mencintai seseorang akan diri melayang dan terbang dalam balutan asmara, semakin kuat cinta, akan semakin tinggi terbangnya. Dan ketika jatuh, akan terasa semakin sakit.
Aku mengalaminya saat ini.
Pagi ini, langit terasa begitu gelap. Bukan karena memang sedang mendung dan akan turun hujan. Hanya saja, senyap terasa begitu dekat dengan kulitku. Hawa kesendirian begitu menyelimutiku.
Biasanya, Wira akan menenangkabku saat aku bersedih. Menjadi api yang hangatkan hatiku yang mendingin. Dan sekarang, aku kehilangan api untuk menghangatkan kesedihanku. Bahkan, api itu telah membakarku.
Ponselku bergetar, sebuah pesan dari Irfan. Selamat pagi. Sudah bangun?
Aku membalas pesannya dengan cepat. Mengabarkan diriku sudah bangun sejak pagi buta.
Ponselku bergetar kembali. Kali ini telepon masuk. Aku menimang ponselku, berusaha menetralkan suaraku yang serak karena banyak menangis.
"Halo," ucapku pelan-nyaris berbisik-agar Irfan tak menyadari suaraku yang terdengar tak biasa, "ada apa Pang?"
"Nanti siang mau ikut aku?"
"Kemana? Aku sedang malas pergi hari ini," ucapku berbohong. Bukan itu alasan sebenarnya. Aku hanya tak ingin Irfan melihatku dalan keadaan seperti ini; begitu berantakan.
"Ke bookfair. Sekarang sudah jam 9. Aku sudah menunggu di depan rumahmu. Bersiaplah. Dandan secukupnya saja. Kamu lebih cantik dengan riasan sederhana."
Aku melonjak dari kasur. Dari jendela kamar kulongokkan kepala dan kudapati Irfan sudah berdiri di depan pintu pagar, bersiap masuk.
Lelaki itu melambaikan tangannya ke arahku. Ponselnya masih ditempelkan ke telinganya.
"Pa- Pang... aku nggak bisa pergi seka..." Ucapanku tak selesai. Dia tersenyun ke arahku seraya mematikan dan memasukkan ponselnya ke saku. Dia melangkah pasti masuk ke dalam rumah
***
"Aku hanya ingin menghiburmu," ucap Irfan yang berjalan di sampingku. Aku yang sedari tadi diam sejak perjalanan dari rumah hingga sampai di Istora menengok ke arah Irfan. Dia tersenyum ke arahku.
Tidak ada kata-kata, suasana hatiku sedang enggan untuk berbicara. Kesedihan masih memeluk erat diriku. Membuatku tidak antusias untuk berkeliling pesta buku-hal yang tidak biasa bagiku.
Biasanya, ketika pesta buku diselenggarakan, aku akan jadi orang yang paling semangat untuk kesini. Semangat mencari novel-novel yang harganya didiskon gila-gilaan sehingga membuatku kalap dan meludeskan isi dompet. Tapi tidak saat ini. Rasanya, aku hanya ingin seharian di kamar, merayakan kesedihan dengan airmata.
"Kita pulang yah, Pang," ucapku pertama kalinya kepada Irfan yang sedang melihat-lihat novel di sebuah stand.
"Menurutmu, novel ini bagus nggak? Lumayan lho, diskon 20%." Dia menyodorkan novel itu kepadaku. Matanya membulat, dia terlihat begitu antusias.
Aku menggeleng lemah.
"Kenapa? Nggak bagus yah? Aku belum cek goodreads sih. Jadi nggak tahu juga novel ini bagus apa nggak."
"Bukan itu."
"Lalu?" tanya Irfan dengan mimik wajah bingung. Dibingung-bingungkan tepatnya.
"Aku mau pulang." Kuulangi sekali lagi permintaanku.
"Tidak," ucap Irfan tegas.
Aku bingung mendapatkan jawaban seperti itu. Dia yang mengajakku kesini, tapi dia tidak mau mengantarkanku pulang. Suasana hati yang tidak stabil membuat emosi meninggi dengan cepat. "Kalau kamu nggak mau antar aku pulang, aku bakal pulang sendiri!"
"Rani, tunggu!" Irfan menahanku. "Aku tahu kamu sedang sedih saat ini. Aku tahu kamu dalam keadaan patah hati."
Aku hanya diam mendengarkan penjelasan Irfan.
"Kata teman-teman yang lain, kamu itu paling senang diajak ke pesta buku. Maka itu, aku ajak kamu kesini. Biar kamu lupain sejenak kesedihan itu. Anggap saja kamu sedang cuti untuk patah hati. Setidaknya untuk hari ini."
Tanpa sadar aku tersenyum mendengar penjelasan Irfan.
Bodoh, mana ada yang namanya cuti patah hati, ucapku di dalam hati
"Alhamdulillah, akhirnya tersenyum juga. Gitu dong. Kamu lebih menarik kalau tersenyum. Nggak seperti tadi." Irfan berucap dengan setengah tertawa kepadaku.
Aku mengambil kantong belanjaan novelnya, lalu kupukulkan kepadanya. Aku tertawa. Sejenak, kesedihanku menghilang. Tingkah Irfan ampuh mengusirnya.
"Ampun, Ran, ampun. Sakit."
"Biarin!" Aku tertawa lagi. Kupandangi diri Irfan. Lalu, senyum kembali muncul di bibirku. Tanpa bisa kucegah.